buletinaufklarung.com - Kebebasan memang seharusnya menjadi hak universal yang dimiliki oleh setiap individu tanpa terkecuali. Kebebasan dalam pandangan ideal memberi setiap orang kesempatan untuk menentukan pilihan, menjalani hidup, dan berkembang sesuai dengan keinginan serta potensi masing-masing.

Bukan hanya hak politik atau sosial, tetapi juga hak pribadi yang meliputi kebebasan berekspresi, berpendapat, dan menjalani kehidupan sesuai dengan nilai-nilai yang diyakini.

Kebebasan menjadi salah satu nilai yang sangat dijunjung tinggi oleh banyak masyarakat modern. Namun, sering kali kebebasan yang dinikmati oleh sebagian besar individu sebenarnya adalah kebebasan semu sebuah konsep yang tampaknya memberikan pilihan dan hak untuk bertindak.

Akan tetapi pada kenyataannya, masih dibatasi oleh berbagai faktor eksternal yang tak terlihat.

Kebebasan semu merujuk pada situasi di mana seseorang atau kelompok dianggap bebas untuk membuat pilihan dan mengambil keputusan, tetapi kenyataannya pilihan tersebut mengucilkan dirinya sendiri.

Dengan kata lain, meskipun tampaknya ada ruang bagi individu untuk berekspresi atau bertindak, dalam praktiknya, ruang tersebut dibatasi oleh ekspektasi sosial atau aturan yang ada, yang sering kali tidak terlihat secara langsung.

Kebebasan semu membentuk standar baru yang tak disadari diikuti oleh banyak orang termasuk kelompok yang menyuarakan kebebasan.

Kebebasan semu dapat terlihat dalam banyak aspek kehidupan, khususnya bagi kelompok yang terpinggirkan, seperti perempuan, kaum minoritas, atau kelompok rentan lainnya.

Meskipun mereka diberi hak untuk memilih atau bertindak menurut hukum atau konstitusi, keputusan mereka sering kali dikendalikan oleh norma dan stereotip yang ada.

Perempuan hari ini sudah banyak mendapat akses untuk berpartisipasi dalam berbagai aspek kehidupan, baik itu di dunia pendidikan, pekerjaan, politik, maupun kehidupan sosial. Namun, kebebasan yang didapatkan oleh perempuan ini sering kali lebih terasa semu.

Sebuah narasi kebebasan yang digaungkan, sering kali melibatkan perlawanan terhadap batasan-batasan yang dikenakan pada perempuan oleh norma sosial, budaya, dan bahkan hukum.

Kebebasan perempuan dalam realitasnya masih menjadi narasi yang kompleks. Narasi kebebasan yang digaungkan oleh perempuan salah satunya ialah kebebasan untuk menentukan jalan hidup mereka sendiri.

Di saat perempuan sudah semakin mendapatkan akses di berbagai bidang. Orientasi awal untuk membebaskan dirinya dari belenggu keterbatasan sosial, justru kembali ternafikan dengan narasi yang baru berdasarkan standar yang dibentuk oleh konstruk masyarakat.

Kemajuan yang dicapai oleh perempuan di berbagai bidang tentu patut dirayakan. Tetapi di sisi lain, ada sebuah dinamika di mana kebebasan yang diperoleh terkadang terperangkap dalam standar atau ekspektasi baru yang diciptakan oleh masyarakat.

Seperti halnya perempuan yang kini memiliki lebih banyak peluang untuk bekerja atau berkarir, mereka tetap terperangkap dalam tuntutan untuk memenuhi peran ganda sebagai profesional yang sukses dan ibu atau istri yang ideal, yang merupakan standar yang sering kali tidak adil.

Pergeseran ini juga bisa terlihat dalam bidang penampilan fisik dan citra tubuh perempuan. Di satu sisi, perempuan semakin diberi kebebasan untuk memilih bagaimana mereka ingin berpenampilan, nyatanya pada saat yang sama, ada tekanan kuat dari media dan industri kecantikan untuk memenuhi gambaran tubuh atau penampilan tertentu yang dianggap "ideal."

Hal ini menjadikan narasi kebebasan justru terjebak dalam ekspektasi sosial yang baru, yang pada akhirnya dapat menekan kebebasan individu perempuan untuk menentukan jalan hidupnya sendiri sesuai dengan keinginan dan pilihan pribadinya.

Di era modern ini, narasi kebebasan perempuan seolah menjadi mantra yang terus didengungkan. Kebebasan untuk memilih jalan hidup, menentukan karir, mengejar pendidikan, dan memiliki suara yang dihargai di ruang publik.

Justru ada satu hal yang sering terlupakan dalam kebebasan itu kebebasan itu tidak selalu sejati. Seiring berjalannya waktu, kebebasan yang seharusnya membebaskan, malah menjadi sebuah "bius" yang mengikat perempuan pada standar-standar baru yang sama sekali tidak mereka pilih.

Ali-alih memberi akses setara kepada perempun seperti kemajuan perempuan yang sukses berkarir, mengurus rumah tangga, dan tampil sempurna di media sosial. Kebebasan itu tampak seperti sebuah hadiah, sesuatu yang dicapai dengan susah payah.

Tetapi, ketika perempuan mulai meraihnya, mereka justru terjebak dalam ekspektasi-ekspektasi baru yang tersembunyi. Mereka mulai merasa bahwa kebebasan berarti mampu menyeimbangkan peran sebagai profesional dan ibu yang sempurna, berpenampilan cantik namun tidak terlalu mencolok, memiliki karir yang gemilang namun tetap mengutamakan keluarga.

Selain masyarakat, media dengan segala kecanggihannya memegang kendali dan pengaruh yang cukup besar dalam membentuk citra perempuan ideal yang bebas memilih, tetapi hanya dalam kerangka yang sudah ditentukan.

Seperti halnya kebebasan yang dipromosikan oleh iklan atau media sosial seolah memberi pilihan, namun pilihan itu sering kali terbatasi pada model tertentu. Pada akhirnya, perempuan yang merasa bebas memilih malah terjebak dalam perangkap baru, sebuah kebebasan yang hanya seolah-olah ada.

Narasi kebebasan perempuan yang awalnya dimaksudkan untuk membebaskan, pada kenyataannya justru menjadi "bius" yang mengaburkan realitas. Kebebasan yang seharusnya memberi ruang untuk pilihan, kini justru terjebak dalam standar-standar baru yang memenjarakan perempuan dalam ekspektasi sosial yang terbentuk oleh struktur kekuasaan yang ada.

Kebebasan yang layaknya diperjuangkan perempuan hari ini adalah kebebasan untuk mengelola diri sendiri. Kebebasan itu mencakup hak untuk menentukan pilihan hidup, mengelola emosi, dan memiliki kontrol penuh atas tubuh dan pikirannya.

Kebebasan Dimana perempuan mampu mengelola emosi dengan bijak, dan tidak hanya merasa lebih kuat dalam menghadapi tantangan hidup, tetapi juga memiliki daya tahan yang lebih besar dalam menjaga kesejahteraan mental mereka.

Dengan demikian kita perlu merekonktruksi makna sejati dari kebebasan. Kebebasan yang menghapuskan bius dari narasi yang dibentuk oleh masyarakat dan media.

Sebuah kebebasan yang memberi kekuatan pada perempuan untuk memilih tanpa rasa takut, tanpa terjebak dalam standar yang ada, dan yang memungkinkan mereka untuk merayakan hidup mereka dengan cara yang autentik dan penuh makna.

“Anda tidak menang dengan berjuang mencapai puncak sistem kasta, Anda menang dengan menolak untuk terjebak di dalamnya sama sekali.” (The Beauty Myth) - Naomi Wolf

Oleh Silvia Ahmidah

Santri Pusat Kajian Filsafat dan Teologi