buletinaufklarung.com - Pengesahan
Rancangan Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI) yang Tengah
dibahas di Indonesia memunculkan perdebatan sengit di berbagai kalangan
masyarakat.
Sebagian besar
kalangan menilai bahwa pengaturan ulang peran dan kewenangan TNI dalam RUU
tersebut dapat berpotensi memperlemah prinsip-prinsip demokrasi yang telah diperjuangkan rakyat Indonesia selama era
reformasi.
Tidak hanya itu saja, banyak pihak yang
melihat adanya ancaman kembalinya rezim Orde Baru yang lebih represif dan
otoriter yang mana dapat mengancam kebebasan sipil termasuk kebebasan
perempuan.
Dalam konteks ini, perempuan menjadi
salah satu kelompok yang paling rentan terhadap dampak kebijakan yang otoriter.
Pada masa Orde Baru, rezim otoriter seringkali mengeksploitasi peran perempuan dengan tujuan
memperkuat kontrol sosial dan politik.
Masa Orde Baru (1966-1998), peran
perempuan diatur dan dibatasi dengan menekankan pada peran tradisional sebagai
ibu rumah tangga dan pendamping suami. Namun, setelah masuk era reformasi pada
tahun 1998 perempuan mulai meraih kebebasan yang lebih besar dalam berbagai
sektor kehidupan. (Fatimah, 2020)
Terdapat dorongan kuat untuk meningkatkan
keterlibatan perempuan dalam ranah politik pada masa reformasi. Mereka dapat
mencalonkan diri sebagai anggota legislatif, bergabung dengan partai politik, dan
menduduki jabatan publik.
Hal tersebut diawali dengan disahkannya
UU Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD, lebih tepatnya pada
pasal 65 ayat 1 menyatakan bahwa peserta Pemilu dapat mengajukan calon anggota
legislatif dengan keterwakilan perempuan minimal 30%. (Irfandi, Husein, Muhdar,
2023)
Banyak organisasi perempuan mulai lebih
aktif dalam mempromosikan kesetaraan gender, hak asasi manusia, dan
pemberdayaan perempuan. Gerakan sosial perempuan semakin berkembang dan lebih
mudah untuk menyuarakan aspirasi mereka tanpa takut terhadap represi negara.
Dengan begitu, keluarlah gagasan yang berupaya untuk melawan kekerasan terhadap perempuan.
Perempuan mulai lebih berani melawan
kekerasan ataupun perundungan melalui pembentukan undang-undang yang melindungi
mereka, seperti Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan
dalam Rumah Tangga, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Ratifikasi
Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW), dan
lain sebagainya.
Pemberian akses yang setara bagi perempuan
dalam sektor Pendidikan dan ekonomi mulai meluas, mulai dari partisipasi
pemerintah untuk perempuan mengejar pendidikan tinggi, perempuan diberi akses
untuk berwirausaha dengan berbagi program pelatihan.
Kesadaran ini mengarah pada peningkatan
jumlah perempuan yang melanjutkan pendidikan di jenjang yang lebih tinggi dan
meningkatkan keterampilan untuk berkompetisi di dunia kerja.
Reformasi membawa angin segar bagi
kebebasan perempuan. Telah terbukti Banyak gagasan yang digagas oleh perempuan
pada era Reformasi yang telah membuka jalan bagi mereka untuk keluar dari
belenggu kekangan masa Orde Baru.
Setelah terlepas dari masa orde baru, perempuan
bukan lagi hanya dianggap sebagai pelengkap dalam keluarga atau masyarakat,
tetapi sebagai agen perubahan yang memiliki hak yang setara dengan laki-laki.
Meskipun telah terjadi banyak perubahan
positif sejak era reformasi, tantangan terhadap kebebasan perempuan masih ada.
Budaya patriarkal dan diskriminasi yang masih kuat di beberapa bagian Masyarakat menjadi
hambatan besar bagi perempuan untuk sepenuhnya bebas dan setara dengan
lak-laki.
Selain itu, Indonesia dalam keadaan
darurat dikarenakan masyarakat merasa was-was akan ancaman rezim
Orde Baru akan terulang lagi; terlebih lagi bagi perempuan. Setelah
banyak gagasan agar perempuan terlepas dari kekangan rezim Orde baru,
seharusnya kita sebagai perempuan penerus bangsa terus memperkuat dam
melanggengkan kebebasan perempuan di Indonesia.
Pendidikan merupakan salah satu kunci
utama dalam melanggengkan kebebasan perempuan, dengan pendidikan juga dapat
memungkinkan perempuan untuk memahami hak-hak mereka dan keluar dari
ketergantungan kepada laki-laki. Sebagai harus mendorong perkembangan intelektual
dan moral yang dapat dikontribusikan dalam Masyarakat secara luas
Dalam tulisan ”A Vindication of the Rights of Woman” karya Mary Wollstonecraft (abad ke-8), menekankan
bahwa perempuan harus diajarkan untuk mengembangkan kecerdasan dan moralitas
mereka, bukan hanya kecantikan atau pesona luar.
Dalam konteks tersebut, perempuan
diharapkan mampu menyeimbangkan antara kemampuan berpikir secara rasional dan
kemampuan mereka dalam pencapan kecantikan fisik untuk memenuhi harapan Masyarakat tentang peran
mereka.
Di banyak tempat terutama di daerah pelosok atau daerah yang jarang dijamah
oleh media masih langgeng budaya patriarki; beberapa tugas domestik harus dilakukan oleh
perempuan juga menjadi penghalang kebebasan perempuan.
Upaya kita untuk melanggengkan kebebasan perempuan dengan kampanye sosial yang menekankan
kesetaraan gender, mengajak masyarakat untuk menilai perempuan berdasarkan
kemampuan dan potensi mereka, bukan pada peran tradisional yang terbatas.
Selain itu, tidak sedikit perempuan yang
merasa takut atas ancaman kekerasan pada dirinya. Karena juga masih banyak
berita yang menayangkan mengenai kekerasan dalam ranah domestik, kekerasan
seksual, maupun diskriminasi ditempat kerja. Hal-hal tersebut yang menjadi
alasan perempuan tidak percaya diri akan keberaniannya sendiri.
Tugas pemerintah dalam hal tersebut
adalah mengayomi Masyarakat tanpa pamrih
dengan berkewajiban untuk memperkuat pengimplementasian undang-undang
yang melindungi perempuan dalam segala sektor.
Pemerintah juga berkewajiban kepada
perempuan korban kekerasan mendapatkan akses yang cepat dan tepat kepada
layanan hukum, serta memperkuat edukasi hukum mengenai hak-hak perempuan.
Wahyu Nuur
Sa’diyah
Santri Pusat Kajian
Filsafat dan Teologi