buletinaufklarung - Sejarah Islam sebagai ideologi politik dan
sistem pemerintahan selalu mengarah kepada otoritarianisme.
Faktor utamanya adalah lemahnya kekuatan masyarakat islam terhadap bernegara, dan peran
ulama yang cenderung sebagai alat atau kaki tangan kekuasaan.
Ulama memiliki peran dengan tanggung jawab sosial kemasyarakatan yang menekankan
pentingnya keterlibatan aktif mereka dalam upaya emansipasi serta transformasi
sosial (Ahmad, 2018).Tetapi dalam sejarah islam beberapa kecenderungan ulama untuk
mendekat dan menjauh dari kekuasaan.
Otoritarianisme dalam politik islam dijelaskan
dalam buku karya Ahmet T Kuru yang berjudul "Islam, Otoritarianisme,
dan Ketertinggalan", secara garis besar karya tersebut mengidentifikasi
sejumlah tokoh dan rezim otoriter di kawasan Timur Tengah, di antaranya Mustafa
Kemal, Reza Syah, Gamal Abdul Nasser, dan Habib Bourgiba.
Selain itu, karya ini juga membahas mengenai
rezim Baath di Suriah dan Irak. Kuru menekankan bahwa otoritarianisme telah
memiliki akar yang kuat di banyak negara mayoritas Islam hingga abad ke- 20.
Khilafah Islamiyah juga tidak luput di kritik,
oleh para kritikus, tidak terdapat dasar yang jelas dalam Al-Quran yang
mengharuskan penerapan sistem khilafah.
Mereka berargumen bahwa kewajiban tersebut
merupakan sebuah penafsiran yang dipaksakan, mengingat bahwa Al-Quran tidak
menyebutkan secara eksplisit mengenai bentuk sistem pemerintahan yang
seharusnya diterapkan.
Di dalam al-Qur'an hanya menjelaskan konsep moral sebagai sebuah pemimpin.
Kritik sistem tersebut tidak memiliki landasan yang jelas. Kepemimpinan dalam
konsep islam cenderung otoriter banyak pertumpahan darah.
Sejarah awal khilafah islamiyah ditemukan beberapa peristiwa kemanusiaan yang diakhiri
dengan peperangan atau kekerasan. Masa Kekhalifahan Abu Bakar
ditandai oleh Pertempuran Ullais, yang juga dikenal sebagai "Pertempuran
Sungai Darah", yang berlangsung pada bulan Mei 633 di wilayah Irak.
Pertempuran ini merupakan konflik antara Kekhalifahan dan Kekaisaran
Persia.
Selanjutnya, pada masa pemerintahan Umar bin
Khattab, ditandai
dengan meluasnya konflik yang dibuat
oleh Abu Bakar. Pada periode ini, angkatan bersenjata di
bidang maritim dibentuk dengan tujuan untuk menghadapi ancaman dari Romawi yang
berupaya merebut kembali kota Alexandria di Mesir.
Selanjutnya,
pada masa pemerintahan Utsman bin Affan, juga ditemukan pertumpahan darah yang
terjadi pada masa Utsman bin Affan berlangsung sebagai akibat dari
pemberontakan yang berakhir dengan pembunuhannya.
Utsman dituduh melakukan praktik nepotisme
dengan menempatkan kerabatnya yang berasal dari Bani Umayyah dalam posisi-posisi
penting pemerintahan serta memberikan bagian yang substansial dari harta Bait
al-Mal kepada mereka.
Tindakan tersebut memicu ketidakpuasan di
kalangan masyarakat.Namun, kebijakan-kebijakan tersebut memicu tuduhan praktik
nepotisme yang pada akhirnya menyebabkan terjadinya pemberontakan dan
pembunuhan terhadap Utsman bin Affan.
Pada masa Kekhalifahan Ali, berlangsung Perang
Saudara Islam I (656–661), yang dikenal pula sebagai Fitnah Pertama. Ali
memandang Muawiyah sebagai seorang pembangkang (bughah) yang perlu diperangi.
Oleh karena itu, ia beserta 50. 000 orang
tentaranya berangkat menuju utara dan pada suatu lokasi yang bernama Shiffin,
di sebelah barat Sungai Eufrat, ia bertemu dengan pasukan Muawiyah yang
berjumlah 80. 000 orang.
Perang ini merupakan konflik saudara yang
pertama dalam sejarah Islam, yang berujung pada penggulingan Kekhalifahan
Rasyidin dan berdirinya Kekhalifahan Umayyah (Syamsun Nasution, 2007).
Dalam sejarah perpolitikan islam tidak luput
yang namanya "Sebuah Perang" sebagai sebuah bentuk pertahanan dan
perluasan ekspansi penyebaran agama. Pemerintahan islam selalu menggunakan
konsep-konsep dan struktur dalam agama.
Dalam
pemerintahan dinasti atau monarki islam juga tidak luput disorot terkait rezim
otoriter. Pertama, mengenai Dinasti Umayyah dengan sistem pemerintahan diubah
menjadi bentuk monarki oleh Muawiyah bin Abu Sufyan.
Langkah ini memperkenalkan konsep pewarisan
kekuasaan secara turun-temurun. Sistem pemerintahan ini bersifat absolut-otoriter
dan menggantikan sistem pemerintahan Islam yang bersifat demokratis.
Kedua, berkaitan dengan Dinasti Abbasiyah.
Sistem pemerintahan yang diterapkan tidak jauh berbeda dari Dinasti Umayyah.
Khalifah pada masa ini menggunakan istilah "Naungan Allah di Atas
Bumi" untuk menggambarkan kekuasaan yang dimiliki. Sebagai dogma politik
untuk mempertahankan kekuasaan dan kepercayaan (Yazid Makarim, 2024).
Kemudian, kelompok-kelompok lain selalu muncul dalam identitas keagamaan. Ideologisasi dan konflik
pembenaran akan kelompok masing kerap sekali muncul dan melahirkan sebuah
konflik dan kekerasan.
Primordialisme dalam islam muncul sesudah
wafatnya Nabi Muhammad SAW. Walaupun pada masa nabi primordialisme juga ada
tapi tidak semasif setelah wafatnya beliau. Sekte-sekte yang muncul akibat
perselisihan identitas dalam sejarah
Islam.
Syiah muncul dari konflik antara Ali dan
Muawiyah. Khawarij muncul karena menolak arbitrase dalam konflik tersebut,
menganggap pelaku dosa besar sebagai kafir. Murji'ah percaya pelaku dosa besar
tetap mukmin dan hanya Allah yang bisa mengampuni.
Mu'tazilah menolak pandangan Khawarij dan
Murji'ah, berpendapat pelaku dosa besar tidak mukmin dan tidak kafir.
Dari berbagai
peristiwa yang terjadi, akhir-akhir ini muncul berbagai
pemikir yang meromantisasi zaman kemajuan islam. Dimana islam pernah maju dalam
berbagai bidang.
Akan tetapi perlu diketahui pada saat itu juga kemajuan dihadapkan akan
berbagai tantangan yang akan membuat
kemunduran zaman itu yakni seperti perpecahan dalam tubuh Ulama, dan perdebatan
ontologis para pemikir islam yang tak usai.
Seperti para filsuf dan ulama konservatif hanya bertikai pada sebuah
pemikiran metafisik tidak beralih kepada wilayah yang lebih konkrit. Kemudian
tidak adanya pemeliharaan ilmu pengetahuan yang kolektif.
Pemerintahan monarki hanya merawat perpolitikan
dirinya sendiri, kemudian kurangnya kesadaran kritis masyarakat islam, untuk
merawat ilmu pengetahuan.
Kuru
berpendapat bahwa aliansi antara ulama dan negara telah mengubah posisi ulama
menjadi pelayan penguasa yang otoriter, yang justru berlawanan dengan tujuan
mereka untuk menumbuhkan kebijaksanaan dalam masyarakat.
Kuru menekankan pentingnya kemerdekaan bagi semua lapisan strategis
dalam suatu negara, termasuk penguasa, intelektual, pedagang, dan ulama. Teori
Kuru menunjukkan bahwa Islam sejatinya tidak bertentangan dengan kebebasan,
demokrasi, dan kemajuan.
Kuru berpendapat kemunduran islam bukan segi
datangnya kolonialisme tapi sebelum kedatangan kolonialisme pada abad ke- 18
atau 19, dunia Islam sebenarnya telah menghadapi krisis politik dan
sosio-ekonomi (Kuru, 2019).
Masih banyak problematika dalam islam, belum
lagi perselisihan kelompok yang tidak menimbulkan produktivitas dan penemuan.
Islam yang berkembang justru kepada taklid buta kepada pembenaran setiap
kelompok atau individu sosok.
Beberapa faktor yang menyebabkan kemunduran
ilmu pengetahuan dalam dunia Islam dengan perbedaan pandangan antar kelompok. Kemudian sistem
pendidikan yang lemah, tumbuhnya feodalisme pengagungan buta terhadap sosok,
langgengnya otoritas keagamaan yang buta dan naif serta pembenaran mutlak tanpa
menimbang relevansi zaman.
Sehingga hilangnya budaya "kritik"
yang mengakibatkan kemunduran fatal tidak menciptakan ekosistem yang
mengutamakan "kebebasan berpikir" dan "Penemuan". Belum
lagi ditambah kasus- kasus pelecehan seksual yang menambah citra buruk sistem
pendidikan islam.
Kurangnya kontribusi dalam pengembangan ilmu pengetahuan juga menjadi penyebab kemunduran dalam dunia
Islam. Hal ini terjadi pada banyaknya pendidikan agama yang
tidak membentuk moral hanya membentuk doktriner untuk kepentingan kelompok atau
pribadi.
Kemunduran peradaban Islam dimulai dari 1250
hingga 1500 M dan belum dapat mencapai kemajuan seperti pada abad ke-9 dan ke-10.
Kemunduran dalam islam paling besar dipengaruhi oleh faktor orang Islam itu
sendiri yang tidak mengevaluasi dan muhasabah secara kolektif.
Kuru menjelaskan bahwa kemajuan sains dan
kemakmuran ekonomi pada masa keemasan Islam terjadi karena kerjasama antara berbagai
bangsa dan agama, serta kebebasan dalam berdagang.
Krisna Wahyu Yanuar
Santri Pusat Kajian Filsafat dan Teologi