Buletinaufklarung.com - Pembahasan gender dan seks seringkali ditemui dalam diskursus filsafat yang bercorak feminisme. Ia mencoba menjelaskan apa yang dimaksut dengan gender dan seks serta pergerajannnya.
Secara umum Gender adalah sifat, peranan,
fungsi, status, dan perilaku yang dikonstruksi secara sosial dan budaya yang
melekat pada laki-laki dan perempuan – termasuk anak-anak,
lansia, penyandang disabilitas, dan kelompok rentan.
Gender dapat
berbeda-beda antara satu kelompok masyarakat dengan kelompok masyarakat
lainnya, dan dapat berubah seiring waktu. Gender berbeda
dengan jenis kelamin, yang merupakan perbedaan bentuk fisik antara perempuan
dan pria.
Istilah gender dapat
dilihat pada perbedaan karakter laki-laki dan perempuan berdasarkan konstruksi
sosial budaya, yang berkaitan dengan sifat, status, posisi dan peran di
masyarakat
Gender juga merujuk pada
nilai sosial yang berlaku dimasyarakat berdasarkan jenis kelamin. Nilai yang
dimaksud akan berubah seiring dengan perkembangan zaman. Selain itu, gender juga mewakili konsep kompleks yang
dibentuk oleh faktor budaya, sosial, dan politik.
Selanjutnya berbicara
mengenai seks yang merupakan konsep jenis laki-laki dan perempuan dengan
mengacu pada perbedaan biologis pada bagian tubuh. Seks menekankan pada
perbedaan yang disebabkan pada kromosom janin.
Hal ini dapat diketahui
bersama bahwa jenis kelamin yang bersifat biologis dan dibawa sejak lahir tidak
dapat dirubah. Bisa diambil contoh yang bisa hamil dan melahirkan hanya
perempuan sedangkan laki-laki hanya bisa membuat perempuan hamil
Secara definisi Seks adalah
perbedaan jenis kelamin yang dibawa sejak lahir, yang didasarkan pada organ
reproduksi dan fungsi biologis. Seks juga berkaitan
dengan karakteristik dasar fisik dan fungsi manusia, seperti kromosom dan kadar
hormon.
Jenis kelamin biologis mengacu pada karakteristik fisik
yang mendefinisikan manusia sebagai perempuan atau laki-laki. Sebaliknya,
gender mencakup peran, perilaku, dan identitas yang dianggap tepat oleh
masyarakat untuk individu berdasarkan jenis kelamin yang mereka rasakan.
Secara historis, banyak budaya menganut pemahaman biner
tentang gender, memposisikannya hanya dalam batas-batas laki-laki dan perempuan
dengan harapan yang jelas.
Namun, pandangan biner ini semakin menghadapi
pengawasan, yang mengarah pada pengakuan yang lebih luas terhadap identitas
gender yang beragam.
Konteks historis identitas gender tidak semudah yang
dilihat secara umum. Seperti halnya budaya kuno yang ada di
Amerika Utara pra-kolonial; sering mengakui lebih dari dua
jenis kelamin.
Masyarakat adat mengkonseptualisasikan fluiditas gender
dan penerimaan identitas di luar kerangka biner. Dalam sejarah modern, gerakan
hak pilih pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 meletakkan dasar bagi
perubahan sosial.
Demikian pula, gerakan feminis tahun 1960-an dan
1970-an menekankan pentingnya kesetaraan gender sambil menantang peran gender
tradisional.
Gerakan-gerakan ini menghidupkan diskusi seputar
identitas gender, mendorong orang untuk mempertanyakan norma-norma sosial dan
mempertimbangkan pengalaman gender yang terpinggirkan.
Judith Butler, seorang filsuf dan ahli teori gender
terkemuka, menerbitkan "Masalah Gender" pada tahun 1990. Teks ini
menantang gagasan tradisional tentang gender sebagai tetap, sebaliknya
mengusulkan bahwa gender adalah performatif.
Butler berpendapat bahwa individu memberlakukan peran
gender berdasarkan harapan masyarakat, yang mengarah pada pemahaman yang lebih
luas tentang gender sebagai spektrum daripada klasifikasi biner
Karyanya meletakkan dasar bagi studi gender kontemporer,
menggambarkan bagaimana dinamika kekuasaan membentuk identitas pribadi dan
peran sosial.
Kontributor signifikan lainnya adalah bell hooks, yang
tulisannya menekankan interseksionalitas ras, kelas, dan jenis kelamin. Hooks
mengkritik gerakan feminis karena sering mengabaikan pengalaman wanita kulit
berwarna dan menekankan pentingnya pendekatan inklusif terhadap identitas.
Dalam beberapa tahun terakhir, diskusi seputar
identitas gender telah mendapatkan momentum karena munculnya gerakan sosial. Gerakan
hak-hak transgender, misalnya, telah menyoroti perjuangan yang dihadapi oleh
individu yang identitas gendernya tidak sejalan dengan jenis kelamin yang
ditetapkan saat lahir.
Aktivis seperti Laverne Cox dan Jazz Jennings telah
membawa visibilitas kepada individu transgender, mengadvokasi penerimaan dan
perlindungan hukum. Visibilitas mereka di media telah memicu percakapan tentang
gender, menantang stereotip, dan menumbuhkan empati terhadap mereka yang
memiliki identitas berbeda.
Selain itu, munculnya identitas non-biner dan genderqueer semakin
memperumit pemahaman konvensional tentang gender. Banyak individu sekarang
mengidentifikasi diri sebagai tidak eksklusif laki-laki atau perempuan,
mendorong kembali kategorisasi yang kaku.
Perluasan identitas gender ini telah mendorong sistem pendidikan,
tempat kerja, dan ruang publik untuk mengevaluasi kembali praktik mereka untuk
mempromosikan inklusivitas.
Tantangan tetap ada bagi individu yang mengidentifikasi
di luar biner. Diskriminasi dan kekerasan terhadap individu transgender dan
non-biner tetap lazim.
Sebuah laporan tahun 2021 oleh Kampanye Hak Asasi
Manusia menunjukkan bahwa kekerasan terhadap perempuan transgender, terutama
perempuan kulit berwarna, telah meningkat.
Statistik tersebut menggarisbawahi kebutuhan mendesak
untuk perubahan sistemik, termasuk pelatihan penegakan hukum dan advokasi untuk
reformasi kebijakan yang melindungi identitas yang terpinggirkan.
Selanjutnya, evolusi identitas gender
yang sedang berlangsung menunjukkan beberapa perkembangan potensial. Pendidikan
akan memainkan peran penting dalam membentuk persepsi publik tentang gender.
Ketika sekolah mengintegrasikan pendidikan gender yang
komprehensif ke dalam kurikulum mereka, generasi muda dapat menumbuhkan
pemahaman yang lebih bernuansa tentang identitas.
Kesadaran ini kemungkinan akan memengaruhi
undang-undang dan kebijakan tempat kerja di masa depan, mendorong lingkungan
yang memprioritaskan inklusivitas.
Tak hanya itu, peran teknologi dalam memfasilitasi
diskusi seputar identitas gender tidak dapat diabaikan. Platform media sosial
telah menjadi ruang penting untuk advokasi yang memungkinkan individu untuk berbagi
pengalaman dan terhubung dengan komunitas yang lebih luas.
Seiring dengan penerimaan masyarakat yang terus berkembang,
teknologi kemungkinan akan menyediakan jalan untuk menegakkan kebijakan dan
mendukung upaya advokasi. Peran teknologi dalam memfasilitasi diskusi seputar
identitas gender tidak dapat diabaikan.
Dengan demikian, identitas gender mencakup spektrum
pengalaman yang dibentuk oleh dinamika sejarah, sosial, dan politik.
Tokoh-tokoh berpengaruh seperti Judith Butler dan bell hooks telah membuka
jalan bagi pemahaman yang lebih dalam tentang gender sebagai konsep multifaset.
Sementara itu, kemajuan signifikan telah dicapai menuju inklusivitas dengan berbagai tantangan yang sedang berlangsung
menyoroti perlunya advokasi dan pendidikan yang berkelanjutan.
Seiring dengan kemajuan masyarakat, pengakuan identitas gender yang
beragam dan implikasinya akan memainkan peran penting dalam membentuk dunia
yang lebih adil.
Perkembangan masa depan akan bergantung pada upaya kolektif,
menekankan pentingnya dialog, pendidikan, dan aktivisme dalam menempa jalan
menuju penerimaan dan pemahaman.
Ro’iyal A’la Muzakki
Santri Pusat Kajian
Filsafat dan Teologi