Buletinaufklarung.com - Pembahasan gender dan seks seringkali ditemui dalam diskursus filsafat yang bercorak feminisme. Ia mencoba menjelaskan apa yang dimaksut dengan gender dan seks serta pergerajannnya.

Secara umum Gender adalah sifat, peranan, fungsi, status, dan perilaku yang dikonstruksi secara sosial dan budaya yang melekat pada laki-laki dan perempuantermasuk anak-anak, lansia, penyandang disabilitas, dan kelompok rentan. 

Gender dapat berbeda-beda antara satu kelompok masyarakat dengan kelompok masyarakat lainnya, dan dapat berubah seiring waktu. Gender berbeda dengan jenis kelamin, yang merupakan perbedaan bentuk fisik antara perempuan dan pria.

Istilah gender dapat dilihat pada perbedaan karakter laki-laki dan perempuan berdasarkan konstruksi sosial budaya, yang berkaitan dengan sifat, status, posisi dan peran di masyarakat (Juditha, 2020).

Gender juga merujuk pada nilai sosial yang berlaku dimasyarakat berdasarkan jenis kelamin. Nilai yang dimaksud akan berubah seiring dengan perkembangan zaman. Selain itu, gender juga mewakili konsep kompleks yang dibentuk oleh faktor budaya, sosial, dan politik.

Selanjutnya berbicara mengenai seks yang merupakan konsep jenis laki-laki dan perempuan dengan mengacu pada perbedaan biologis pada bagian tubuh. Seks menekankan pada perbedaan yang disebabkan pada kromosom janin.

Hal ini dapat diketahui bersama bahwa jenis kelamin yang bersifat biologis dan dibawa sejak lahir tidak dapat dirubah. Bisa diambil contoh yang bisa hamil dan melahirkan hanya perempuan sedangkan laki-laki hanya bisa membuat perempuan hamil

Secara definisi Seks adalah perbedaan jenis kelamin yang dibawa sejak lahir, yang didasarkan pada organ reproduksi dan fungsi biologis. Seks juga berkaitan dengan karakteristik dasar fisik dan fungsi manusia, seperti kromosom dan kadar hormon. 

Jenis kelamin biologis mengacu pada karakteristik fisik yang mendefinisikan manusia sebagai perempuan atau laki-laki. Sebaliknya, gender mencakup peran, perilaku, dan identitas yang dianggap tepat oleh masyarakat untuk individu berdasarkan jenis kelamin yang mereka rasakan.

Secara historis, banyak budaya menganut pemahaman biner tentang gender, memposisikannya hanya dalam batas-batas laki-laki dan perempuan dengan harapan yang jelas.

Namun, pandangan biner ini semakin menghadapi pengawasan, yang mengarah pada pengakuan yang lebih luas terhadap identitas gender yang beragam.

Konteks historis identitas gender tidak semudah
yang dilihat secara umum. Seperti halnya budaya kuno yang ada di Amerika Utara pra-kolonial; sering mengakui lebih dari dua jenis kelamin.

Masyarakat adat mengkonseptualisasikan fluiditas gender dan penerimaan identitas di luar kerangka biner. Dalam sejarah modern, gerakan hak pilih pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 meletakkan dasar bagi perubahan sosial.

Demikian pula, gerakan feminis tahun 1960-an dan 1970-an menekankan pentingnya kesetaraan gender sambil menantang peran gender tradisional.

Gerakan-gerakan ini menghidupkan diskusi seputar identitas gender, mendorong orang untuk mempertanyakan norma-norma sosial dan mempertimbangkan pengalaman gender yang terpinggirkan.

Judith Butler, seorang filsuf dan ahli teori gender terkemuka, menerbitkan "Masalah Gender" pada tahun 1990. Teks ini menantang gagasan tradisional tentang gender sebagai tetap, sebaliknya mengusulkan bahwa gender adalah performatif.

Butler berpendapat bahwa individu memberlakukan peran gender berdasarkan harapan masyarakat, yang mengarah pada pemahaman yang lebih luas tentang gender sebagai spektrum daripada klasifikasi biner (Edi Riyadi Terre, 2013).

Karyanya meletakkan dasar bagi studi gender kontemporer, menggambarkan bagaimana dinamika kekuasaan membentuk identitas pribadi dan peran sosial.  

Kontributor signifikan lainnya adalah bell hooks, yang tulisannya menekankan interseksionalitas ras, kelas, dan jenis kelamin. Hooks mengkritik gerakan feminis karena sering mengabaikan pengalaman wanita kulit berwarna dan menekankan pentingnya pendekatan inklusif terhadap identitas.

Dalam beberapa tahun terakhir, diskusi seputar identitas gender telah mendapatkan momentum karena munculnya gerakan sosial. Gerakan hak-hak transgender, misalnya, telah menyoroti perjuangan yang dihadapi oleh individu yang identitas gendernya tidak sejalan dengan jenis kelamin yang ditetapkan saat lahir.

Aktivis seperti Laverne Cox dan Jazz Jennings telah membawa visibilitas kepada individu transgender, mengadvokasi penerimaan dan perlindungan hukum. Visibilitas mereka di media telah memicu percakapan tentang gender, menantang stereotip, dan menumbuhkan empati terhadap mereka yang memiliki identitas berbeda.

Selain itu, munculnya identitas non-biner dan genderqueer semakin memperumit pemahaman konvensional tentang gender. Banyak individu sekarang mengidentifikasi diri sebagai tidak eksklusif laki-laki atau perempuan, mendorong kembali kategorisasi yang kaku.

Perluasan identitas gender ini telah mendorong sistem pendidikan, tempat kerja, dan ruang publik untuk mengevaluasi kembali praktik mereka untuk mempromosikan inklusivitas.

Tantangan tetap ada bagi individu yang mengidentifikasi di luar biner. Diskriminasi dan kekerasan terhadap individu transgender dan non-biner tetap lazim.

Sebuah laporan tahun 2021 oleh Kampanye Hak Asasi Manusia menunjukkan bahwa kekerasan terhadap perempuan transgender, terutama perempuan kulit berwarna, telah meningkat.

Statistik tersebut menggarisbawahi kebutuhan mendesak untuk perubahan sistemik, termasuk pelatihan penegakan hukum dan advokasi untuk reformasi kebijakan yang melindungi identitas yang terpinggirkan.

Selanjutnya, evolusi identitas gender yang sedang berlangsung menunjukkan beberapa perkembangan potensial. Pendidikan akan memainkan peran penting dalam membentuk persepsi publik tentang gender.

Ketika sekolah mengintegrasikan pendidikan gender yang komprehensif ke dalam kurikulum mereka, generasi muda dapat menumbuhkan pemahaman yang lebih bernuansa tentang identitas.

Kesadaran ini kemungkinan akan memengaruhi undang-undang dan kebijakan tempat kerja di masa depan, mendorong lingkungan yang memprioritaskan inklusivitas.

Tak hanya itu, peran teknologi dalam memfasilitasi diskusi seputar identitas gender tidak dapat diabaikan. Platform media sosial telah menjadi ruang penting untuk advokasi yang memungkinkan individu untuk berbagi pengalaman dan terhubung dengan komunitas yang lebih luas.

Seiring dengan penerimaan masyarakat yang terus berkembang, teknologi kemungkinan akan menyediakan jalan untuk menegakkan kebijakan dan mendukung upaya advokasi. Peran teknologi dalam memfasilitasi diskusi seputar identitas gender tidak dapat diabaikan.

Dengan demikian, identitas gender mencakup spektrum pengalaman yang dibentuk oleh dinamika sejarah, sosial, dan politik. Tokoh-tokoh berpengaruh seperti Judith Butler dan bell hooks telah membuka jalan bagi pemahaman yang lebih dalam tentang gender sebagai konsep multifaset.

Sementara itu, kemajuan signifikan telah dicapai menuju inklusivitas dengan berbagai tantangan yang sedang berlangsung menyoroti perlunya advokasi dan pendidikan yang berkelanjutan.

Seiring dengan kemajuan masyarakat, pengakuan identitas gender yang beragam dan implikasinya akan memainkan peran penting dalam membentuk dunia yang lebih adil.

Perkembangan masa depan akan bergantung pada upaya kolektif, menekankan pentingnya dialog, pendidikan, dan aktivisme dalam menempa jalan menuju penerimaan dan pemahaman.

 

Ro’iyal A’la Muzakki

Santri Pusat Kajian Filsafat dan Teologi