Menyelami Pembentukan Identitas Gender Via Feminisme Psikoanalisis

Buletinaufklarung.com - Feminisme Psikoanalisis merupakan pendekatan terhadap feminisme yang mengintegrasikan teori psikoanalisis untuk memahami dan menantang ketidaksetaraan gender.

Teori Feminisme Psikoanalisis berfokus pada bagaimana pengalaman psikologis dan proses internal membentuk identitas gender dan perannya dalam masyarakat.

Dengan demikian, Feminisme Psikoanalisis mengadaptasi teori psikoanalisis Sigmund Freud dan penganutnya, seperti Jacques Lacan, untuk menganalisis pengalaman dan konstruk psikologis yang membentuk identitas gender.

Sigmund Freud beranggapan bahwa anak-anak mengembangkan pemahaman mereka tentang jenis kelamin karena kecenderungan alami mereka untuk mengidentifikasi dengan orang tua yang sama dengan jenis kelaminnya.

Sedangkan Nancy Chodorow menggunakan teori relasi objek Freud untuk meneliti hubungan ibu dan anak-anak mereka. Eksplorasi peran perempuan sebagai ibu dan anak merupakan topik utama dalam feminisme psikoanalisis.

Chodorow dan beberapa feminisme psikoanalisis lain seperti Dorothy Dinnerstein memandang pengasuhan sebagai sarana untuk memahami reproduksi dan produksi status quo yang berkelanjutan, dan oleh karena itu merupakan tempat dimana perubahan sosial dapat terjadi.  

Dalam The Reproduction of Mothering, Chodorow berpendapat bahwa pengalaman yang berbeda pada masa bayi mengarahkan anak perempuan dan anak laki-laki ke arah jalur perkembangan yang berbeda.

Feminisme psikoanalisis menegaskan bahwa laki-laki memiliki kebutuhan psikologis yang melekat untuk menaklukkan perempuan.

Seperti diungkapkan Kristina Wolff (2007), akar dari keharusan laki-laki untuk mendominasi perempuan dan resistensi minimal dari perempuan atas penaklukan terletak jauh di dalam psike atau cara pikir manusia.

Anak laki-laki secara definitif berpisah dari ibu mereka untuk mengidentifikasi dengan kekuatan sosial ayah. Sementara anak perempuan lebih mengembangkan simbiosis/perasaan diri yang berkelanjutan dalam hubungannya dengan ibu.

Dinamika relasional yang menekankan otonomi dan pemisahan untuk anak laki-laki ini membuat laki-laki terhambat secara emosional dan kurang mampu menjalin hubungan pribadi yang intim, tetapi lebih siap untuk kehidupan publik dan dunia kerja.

Sebaliknya, anak perempuan berkembang sebagai subjek dalam hubungan yang lebih dekat dengan ibu mereka.

Anak perempuan memiliki batasan psikis yang lebih cair yang memfasilitasi kapasitas yang lebih besar untuk keintiman, tetapi membuat mereka kurang siap untuk bernegosiasi di ruang publik.  

Chodorow dan sejumlah feminis psikoanalisis lainnya menganjurkan pengasuhan ganda sebagai salah satu cara untuk menghilangkan ketidakseimbangan karakter yang dihasilkan oleh ekstremitas gender.

Dengan begitu anak-anak akan dapat melihat kedua orang tua sebagai individu dalam sebuah relasi, mengalami laki-laki dan perempuan sebagai berorientasi pada diri sendiri dan orang lain, dan memandang kedua jenis kelamin sebagai penghuni ranah pribadi dan publik. 

Oleh Karena itu feminisme psikoanalisis berupaya mencari tahu perkembangan kehidupan psikis manusia sehingga dapat lebih memahami dan mengubah penindasan perempuan. 

Aliran feminisme psikoanalisis percaya bahwa ketidaksetaraan gender berasal dari pengalaman masa kanak-kanak, yang mengakibatkan cara laki-laki memandang dirinya sebagai maskulin dan perempuan memandang dirinya sebagai feminin.

Lebih lanjut kondisi ini dipertahankan dengan gender yang mengarah pada sistem sosial dengan didominasi oleh laki-laki, yang pada gilirannya mempengaruhi perkembangan psikoseksual individu.  

Untuk itu feminisme psikoanalisis berkonsentrasi pada perkembangan anak usia dini, terutama sebelum usia 3 tahun. Ia juga memeriksa bagaimana gender dikonstruksi dan dipraktikkan di tingkat masyarakat, keluarga, dan individu. 

Maka dari itu, feminisme psikoanalisis ingin mengubah pengalaman anak usia dini dan hubungan keluarga, serta pola linguistik yang menghasilkan dan memperkuat maskulinitas dan feminitas. 

Selanjutnya pandangan Feminisme Psikoanalisis tentang patriarki yang dianggap sebagai sistem dominasi yang merugikan perempuan, menciptakan norma dan harapan gender yang tidak adil.

Dalam hal pembentukan identitas gender, memiliki beberapa tahapan yang dilakukan. Pertama, tahap oral; tahap awal perkembangan, di mana kepuasan didapat dari mulut, seperti makan atau menghisap. Pengalaman ini membentuk kebutuhan dasar dan ketergantungan pada orang lain

Kedua, tahap anal; Tahap ini melibatkan kontrol tubuh dan pengenalan konsep batasan. Pengalaman ini memengaruhi konsep diri dan hubungan dengan otoritas. Ketiga, tahap falik; Tahap ini melibatkan kesadaran organ kelamin dan perbedaan gender. 

Teori ini berpendapat bahwa perempuan mengalami penindasan karena tidak memiliki penis, yang dianggap sebagai simbol kekuasaan

Keempat, tahap laten; Tahap ini ditandai dengan pengurangan dorongan seksual dan fokus pada perkembangan sosial dan kognitif. Kelima, tahap genital; Tahap ini ditandai dengan kematangan seksual dan pencarian pasangan.

Feminisme Psikoanalisis juga berpendapat bahwa perempuan menginternalisasi nilai-nilai patriarkal, yang memengaruhi citra diri mereka, hubungan, dan pilihan hidup. Teori ini menekankan bahwa perempuan mengalami penindasan psikologis yang dapat mengakibatkan gangguan emosional, ketidakpuasan, dan tekanan.

Dari perkembangan serta penelitian mengenai feminisme psikoanalisis, ada beberapa implikasi yang terkandung. Implikasi ini mengarah kepada kesadaran diri yang mencoba membantu individu untuk memahami pengaruh pengalaman masa lalu dan norma gender pada kehidupan mereka.

Selanjutnya juga terletak pada hubungan yang mencoba membantu individu untuk mengembangkan hubungan yang lebih sehat dan setara, baik dengan pasangan, keluarga, atau rekan kerja.

Ro'iyal A'la Muzakki
Santri Pusat Kajian Filsafat dan Teologi