Buletinaufklarung.com - Dalam era
sekarang, teknologi media informasi di belahan dunia mengalami perkembangan
yang pesat dan cepat. Jika dulunya proses komunikasi hanya sebatas menggunakan
media majalah, koran, radio, dan televisi analog.
Sekarang sudah
bertransformasi ke arah lebih modern dan milenial dalam bentuk pemanfaatan
jaringan informasi dan digitalisasi; media sosial. Menariknya, selain
memengaruhi ruang aktivitas masyarakat dalam hal komunikasi dan informasi.
Kemunculan
media sosial juga mempengaruhi perubahan gaya hidup manusia dalam era modern.
Hal ini sering kali membuat masyarakat teralienasi dari nilai-nilai
spiritualitas.
Bahkan,
mempengaruhi manusia dalam dimensi agama yang notabene dipercaya dan diyakini
oleh masyarakat sebagai realitas yang suci.
Agama
merupakan bagian dari kehidupan spiritual manusia yang telah ada dan berkembang
sejak zaman sebelum masehi. Secara fundamental, agama selalu berkaitan dengan
hal-hal transenden, sakral, supranatural, dan aspek kehidupan spiritual.
Dalam makna
yang lebih luas, agama dipahami sebagai sistem sosial dan budaya yang mencakup
berbagai praktik, perilaku, keyakinan, pandangan hidup, teks, moral, etika,
struktur organisasi, serta elemen lainnya.
Dewasa ini,
manusia modern sangat membutuhkan cara berpikir baru yang diharapkan mampu
meningkatkan kesadaran sekaligus memberikan pola hidup yang lebih segar.
Hal ini secara
praktis muncul fenomena pencarian makna hidup serta upaya menemukan jati diri
melalui kepercayaan-kepercayaan yang kaya akan nilai spiritual.
Saat ini, di masyarakat modern muncul minat yang meningkat terhadap jalur spiritual.
Jalan ini dipilih oleh banyak orang untuk mencari jawaban mendalam tentang
keberadaan diri mereka di tengah dinamika kehidupan perkotaan.
Fenomena ini,
meskipun memiliki akar dalam budaya yang ada, terutama muncul sebagai respons
terhadap krisis spiritual yang berkepanjangan di masyarakat perkotaan. Krisis
ini juga dipicu oleh kemerosotan moralitas yang mempengaruhi gaya hidup modern.
Secara
sederhana, modern dalam bahasa berarti sesuatu yang baru; model, bentuk,
kreasi, atau hal lain yang bersifat mutakhir. Dengan demikian, Abad modern
adalah masa di mana manusia mulai melihat dirinya sebagai kekuatan utama yang
mampu mengatasi berbagai tantangan hidup.
Manusia
dianggap sebagai makhluk yang luar biasa dan mandiri dan tidak lagi
bergantung sepenuhnya pada Tuhan atau alam.Manusia modern dengan sengaja
melepaskan diri dari keterikatan dengan Tuhan dan berfokus pada membangun
kehidupan yang sepenuhnya berpusat pada dirinya sendiri.
Mereka
berusaha menjadi penguasa atas nasibnya, yang akhirnya memutuskan hubungan
dengan nilai-nilai spiritual. Akibatnya, manusia modern justru kesulitan
menemukan solusi untuk masalah-masalah hidupnya sendiri (Ghafur, 2003).
Hossein Nasr
menggambarkan dunia modern sebagai dunia yang terputus dari hal-hal transenden,
yaitu prinsip-prinsip abadi yang mengatur materi dan disampaikan kepada manusia
melalui wahyu dalam arti yang universal.
Secara
sederhana, kondisi ini dapat disebut sebagai hilangnya visi keilahian. Pada
akhirnya memicu krisis spiritual (Nasr, 1983). Kondisi ini banyak dialami oleh
kebanyakan masyarakat modern yang memunculkan gejala baru.
Dengan
bergesernya manusia ke arah dimensi esoterik sebagai cara untuk mengatasi
kebuntuan yang muncul di tengah modernisme. Akibatnya, spiritualitas (tasawuf)
semakin menarik perhatian dan menjadi topik unggulan dalam kajian agama.
Maka dari itu,
Islam sebagai alternatif pencarian spiritual manusia modern. Islam juga akan
mengemas dengan menarik agar dapat diminati oleh masyarakat modern yang sedang
haus kerohanian.
Keagungan
manusia tidak dapat dipahami tanpa hubungan erat dengan Tuhannya. Sebaliknya,
bencana kekosongan spiritual akan mudah terjadi ketika manusia sadar atau
tidak; menjauh dari Tuhan.
Karena
keyakinan umat Muslim, manusia terikat oleh sebuah perjanjian dengan Tuhan
sejak sebelum ia dilahirkan ke dunia.
Dari sini
dapat dilihat, bahwa manusia sebenarnya tidak dapat terlepas dari agama. Setiap
agama memiliki dimensi mistis, dimensi spiritual (esoteris), dan dimensi
lahiriah (eksoteris).
Dalam Islam,
praktek beragama yang menyentuh hingga ke aspek esoteris atau spiritual disebut
tasawuf. Dimensi ini memiliki peran yang besar dalam membentuk dan mempengaruhi
kehidupan spiritual para pemeluknya.
Spiritualitas
Islam atau sufisme memiliki daya tarik yang kuat bagi masyarakat Barat modern.
Di tengah kekeringan batin yang mereka rasakan, kebutuhan akan pemenuhan
spiritual semakin mendesak.
Banyak yang
mencari kedamaian, baik melalui ajaran agama seperti Kristen dan Buddha, maupun
dengan kembali ke alam sebagai bentuk pelarian dari kejenuhan hidup dalam
masyarakat yang didominasi ilmu pengetahuan dan teknologi.
Kini Islam
mulai melebarkan sayapnya untuk memperkenalkan dimensi batiniah kepada seluruh
manusia sebagai alternatif yang tepat. Menurut Nasr, Setidaknya ada tiga cara
Islam dapat mempengaruhi masyarakat Barat.
Pertama, melalui
praktik aktif ajaran spiritual Islam. Kedua, tasawuf dapat menarik
perhatian Barat dengan menyajikan Islam dalam bentuk yang lebih menarik,
sehingga mereka dapat memahami dan menjalankan praktik tasawuf yang autentik.
Ketiga, tasawuf
dapat diperkenalkan sebagai sarana untuk membantu mengingatkan dan membangunkan
masyarakat Barat dari keterasingan spiritual mereka.
Dengan
hadirnya Islam sebagai alternatif bagi manusia, maka tasawuf dapat dijadikan
jalan untuk mengatasi kegalauan manusia modern.
Ajaran Islam
yang bersifat metafisis yang dijumpai dalam sufisme dapat memberi jawaban
terhadap kebutuhan-kebutuhan intelektual yang dapat memuaskan kehausan manusia
yang mencari Tuhan-Nya.
Salah satu
kontribusi tasawuf dalam kehidupan manusia dengan memenuhi kebutuhan batiniah
yang esensial.Karena manusia tidak hanya memiliki dimensi fisik dan lahiriah,
tetapi juga batin dan kejiwaan.
Oleh karena
itu, jiwa perlu terus dilatih agar mampu menerima cahaya spiritual dari Tuhan.
Dengan begitu, manusia dapat mencapai kesempurnaan sebagai langkah menuju
kepastian hidup.
Untuk itu,
kebutuhan manusia terhadap agama merupakan sesuatu yang alami. Tidak peduli
seberapa jauh perkembangan manusia, ia akan selalu memerlukan ajaran-ajaran
yang bersifat transendental. Hal ini karena dorongan untuk mengenal Tuhan
adalah bagian dari fitrah manusia.
Tegar Ahmad
Firmansyah
Santri Pusat
Kajian Filsafat dan Teologi