Banyak filsuf melahirkan gagasan yang brilian dari zaman Yunani kuno hingga Post Modern. Banyak filsuf terdahulu yang menjadi tonggak awal ilmu pengetahuan dalam dunia filsafat. khususnya pada zaman Renaissance seperti Niccolo Machiavelli (1469-1527), Giordano Bruno (1548-1600) dan Fancis Bacon (1561-1626), telah menyumbangkan pemikirannya.

Selanjutnya kaum rasionalisme juga tidak ketinggalan untuk ikut mempercantik perkembangan ilmu pengetahuan itu. Tak terkecuali Rene Descartes (1596-1650) sebagai tokoh awal yang mewakili mazhab rasionalisme modern yang kemudian dikembangkan lagi oleh tokoh rasionalisme lainya.

Salah satu tokoh rasionalisme yang memiliki gagasan unik yaitu Blaise Pascal (1623-1662). Pascal lahir di Clermont-Ferrand Prancis yang dikenal mahir dalam bidang fisika dan matematika. Budi Hardiman dalam bukunya Pemikiran Modern (2019), menyebut Blaise Pascal sebagai “Sang Apologet”.

Apologet atau apologetika berasal dari kata apologia yang berarti berbicara untuk memberi jawaban atau pembelaan. Jadi apologetika merupakan studi tentang bagaimana seseorang mempertahankan, menjawab dan membela keyakinannya dalam agama (Tanudjaja, 2018).

Sebagai konsekuensinya, pemikiran-pemikiran Blaise Pascal tidak jauh-jauh dari pembelaannya terhadap keimanan yang dianutnya. Namun demikian, filsafat Pascal dinilai masih bernuansa kritis filosofis pada zamannya.

Pascal menjadi tokoh yang cenderung lebih dekat dengan doktrin keimanan dibanding filsuf rasionalisme lainnya. Jika para filsuf rasionalis pada zamannya menilai bahwa akal lebih tinggi dari iman, maka Pascal berpendapat sebaliknya bahwa iman lebih tinggi daripada akal (Hardiman, 2019).

Argumen seperti ini lebih dekat dengan argumen seorang teolog yang penalarannya disandarkan pada keimanan dan wahyu. Ungkapan Pascal yang cukup menggambarkan bagaimana ia menaruh iman di atas akal adalah “But by faith we know His existence; in glory we shall know His nature” (Tetapi dengan iman kita tahu keberadaan-Nya; dalam kemuliaan kita akan mengenal sifat-Nya).

Argumen tersebut dapat ditemukan dalam karyanya Pensees (1660), menurutnya kita tidak hanya mencapai kebenaran dengan rasio namun juga dicapai dengan iman. Ada kebenaran-kebenaran yang tidak bisa ditangkap oleh rasio namun bisa ditangkap oleh iman.

Didalam bukunya tersebut persoalan keimanan dibahas oleh Pascal. Salah satu pokok pembahasan yang terkenal adalah “Le Pari” atau argumen pertaruhan. Argumen pertaruhan Tuhan ini memperkuat posisi Pascal sebagai apologet dengan pembelaannya terhadap keimanan. Kiranya jawaban dari Pascal dapat menjadi balasan terhadap serangan kaum Ateis dan skeptikus Tuhan.

Taruhannya berisi dua poin utama. Pertama, Pascal ingin menunjukan bahwa kepercayaan kepada Tuhan adalah rasional. Kedua, Ia mengharuskan manusia untuk berharap bahwa Tuhan itu benar, karena upaya manusia untuk mendapatkan iman akan dihargai tanpa batas (Grumbal, 2013). Bagi Pascal, orang yang percaya pada Tuhan akan mendapatkan kebahagiaan dan kenikmatan.

Dikutip dari Internet Encyclopedia of Philosophy  Pascal mengatakan “Jika Anda bertaruh pada keberadaan Tuhan, Anda akan memenangkan pahala yang tak terbatas – keabadian di surga – dengan risiko kerugian hanya kecil – mengorbankan kesenangan duniawi.

Di sisi lain, jika Anda bertaruh untuk melawan keberadaan Tuhan, Anda berisiko mengalami kerugian yang tak terbatas – kehilangan surga bersama dengan kemungkinan keabadian di neraka – hanya untuk keuntungan yang terbatas – kesempatan untuk menikmati kesenangan duniawi”.

Singkatnya, percayalah bahwa Tuhan itu ada. Jika Tuhan memang benar-benar ada, niscaya kita akan mendapatkan segalanya; surga, kebahagiaan, kenikmatan. Jika kita percaya Tuhan itu ada dan ternyata Tuhan itu tidak ada, maka kita tidak akan kehilangan apa-apa.

Berbeda dengan ketika kita misalnya percaya bahwa Tuhan itu tidak ada, tapi ternyata Tuhan ada, kita akan mendapatkan sama sekali kerugian; siksa neraka, kesengsaraan. Walaupun jika ternyata Tuhan tidak ada, kita tidak mendapatkan apa-apa.

Jika digambarkan dalam tabel akan seperti ini:

Jika ditarik kesimpulan dalam simbol matematika maka nilai yang diharapkan untuk percaya adalah positif tak terbatas dan nilai yang diharapkan untuk tidak percaya adalah negatif tak terbatas. Memilih untuk percaya kepada Tuhan adalah pilihan terbaik menurut rumus ini. Seperti yang dikatakan Pascal, "Jadi, bertabahlah, tanpa ragu-ragu bahwa –Tuhan – ada" karena "di sini ada kehidupan bahagia yang tak terbatas untuk diperoleh"(Jackson dan Rogers, 2019).

Bahkan kemudian pertimbangan yang rasional ini menggiring manusia untuk memilih mempercayai keberadaan Tuhan, daripada tidak percaya adanya Tuhan (Buckingham, 2011). Pascal ingin membuka jendela baru dengan menggunakan probabilitas sebagai kerangka argumen teologinya. 

Argumen le pari ini sebenarnya tidak digunakan oleh Pascal untuk pembuktian eksistensi Tuhan. Namun argumen ini lebih ditujukan kepada sekelompok orang yang tidak percaya kepada agama Kristen. Lagi-lagi Pascal dengan luwes membuktikan apologetisnya (Hardiman, 2019).

Memang argumen le pari yang ditawarkan oleh Pascal dapat membuat musuh-musuh agamawan tertampar. Dengan penggunaan probabilitas dan rasionalitas menjadikan argumen le pari cukup kuat. Alih-alih menyumbangkan gebrakan baru bagi pengetahuan, justru Pascal terjatuh pada kebutuhan pragmatisme pembelaan terhadap keyakinannya.

Terlepas dari persoalan argumen le pari yang menuai kontroversi dan kritik tajam dari tokoh-tokoh yang lain, seperti Voltaire dan William James. Pascal setidaknya sudah merintis pendekatan terhadap agama dengan argumen yang masuk akal.

John Stuart Mill dalam Three Essays on Religion (1874) walaupun tidak membahas secara langsung konsep taruhan Pascal, ia mengungkapkan argumen utilitarian tentang pengharapan religius. “bagi siapapun yang merasa bahwa harapan akan masa depan sebagai suatu kemungkinan akan menguntungkan atau bermanfaat baginya, tidak ada halangan baginya untuk menuruti harapan itu” (Stuart Mill, 1874).

Disini apa yang dikatakan oleh Mill mirip dengan argumennya Pascal, yang mana keduanya berorientasi pada keuntungan masa depan. Dengan demikian tidak ada halangan bagi orang yang mengharapkan masa depan penuh dengan kebahagiaan. Argumen mereka menjadi landasan untuk tetap bertindak baik di dunia, melawan hawa nafsu dan menjunjung tinggi moralitas. 

Hilmy Harits Putra Perdana

Santri Pusat Kajian dan Teologi