Orientasi
feminis dapat diibaratkan sebagai kompas yang memandu kita dalam memahami dan
mengatasi ketidaksetaraan gender. Ini adalah sebuah perspektif yang menempatkan
pengalaman perempuan sebagai tolak ukur untuk menganalisis berbagai aspek
kehidupan; politik, ekonomi, hingga budaya.
Hadirnya
feminisme tidak hanya sekadar mengakui perbedaan antara laki-laki dan
perempuan. Akan tetapi
berupaya untuk menyikapi dan
menantang struktur sosial yang telah banyak
menguntungkan laki-laki dan merugikan perempuan.
Selama berabad-abad,
perempuan telah menghadapi dan mengalami diskriminasi, penindasan, bahkan
pelecehan. Feminisme memberikan kerangka kerja untuk memahami akar permasalahan
ini. Dengan memahami sejarah dan struktur sosial yang patriarkal, kita dapat
mengidentifikasi berbagai bentuk ketidakadilan yang dialami perempuan; kesenjangan
upah, kesenjangan sosial, kekerasan berbasis gender.
Feminisme merupakan sebuah gerakan
sosial dan intelektual yang berorientasi untuk mencapai kesetaraan gender
Dengan kata lain, feminisme mengajak
kita untuk mempertanyakan mengapa peran dan posisi perempuan dan laki-laki
dalam masyarakat seringkali tidak setara, dan bagaimana ketidaksetaraan ini
terkonstruksi secara sosial dan historis. Kondisi
seperti itu akan menjadi problematika yang cukup serius jika tidak adanya upaya
untuk menyelesaikannya.
Terbitnya buku "Feminism Is for Everybody"
oleh bell hooks (1952-
2021) adalah
buku yang wajib dibaca untuk memahami lebih dalam tentang feminisme dan
perannya dalam menciptakan dunia yang lebih adil. Buku ini mengajak kita untuk
merefleksikan diri dan mengambil tindakan untuk melawan ketidakadilan gender
dan segala bentuknya.
Selanjutnya feminisme tidak bersifat
monolitik, melainkan terdiri dari berbagai aliran dengan penekanan yang
berbeda-beda. Ada yang lebih fokus pada isu-isu ekonomi, ada yang lebih fokus
pada isu-isu budaya, ada
pula yang menggabungkan keduanya dan beberapa faktornya.
Feminisme juga bukan gerakan yang homogen.
Ada berbagai aliran dengan penekanan yang berbeda-beda; Feminisme Liberal, Feminisme Radikal, Feminisme Marxis, Feminisme Hitam, Feminisme Postkolonial, Feminisme Interseksional.
Perempuan
selama ini seringkali dipandang sebagai objek, baik dalam kehidupan sehari-hari
maupun dalam kajian ilmiah. Meskipun
seringkali peran mereka diabaikan atau diremehkan. Dengan mengangkat kembali
kisah-kisah perempuan, kita dapat melihat kontribusi mereka yang signifikan
dalam berbagai bidang, dari seni dan budaya hingga politik dan ilmu
pengetahuan.
Feminisme berupaya membalikkan pandangan ini dengan
menempatkan perempuan sebagai subjek yang aktif dan agen perubahan. Perempuan
tidak hanya sekadar penerima dampak dari struktur sosial, tetapi juga memiliki
kemampuan untuk membentuk dan mengubah struktur tersebut.
Banyak hal yang bisa dijadikan
contoh dalam
mewujudkan perempuan sebagai agen of change seperti Gerakan suffragette merupakan contoh nyata
bagaimana perempuan dapat menjadi agen perubahan
yang kuat. Mereka berjuang keras untuk mendapatkan hak
suara dan mengubah lanskap politik di banyak negara.
Gerakan
feminisme di era modern telah mencapai kemajuan pesat dalam beberapa dekade
terakhir. Perempuan kini memiliki lebih banyak akses ke pendidikan, pekerjaan, dan
kehidupan publik dibandingkan sebelumnya. Namun, perjuangan untuk mencapai
kesetaraan gender masih jauh dari kata selesai.
Kesetaraan gender hadir untuk membawakan konsep dimana laki-laki dan
perempuan memiliki hak, tanggung jawab, dan kesempatan yang sama dalam semua
aspek kehidupan; politik, ekonomi,
sosial, budaya, dan sipil. Ini berarti bahwa tidak ada
jenis kelamin yang dianggap lebih superior
atau inferior dari yang lain.
Kesetaraan gender tidak berarti bahwa laki-laki dan
perempuan harus menjadi sama persis. Terlepas dari jenis kelaminnya, laki-Laki
dan Perempuan memiliki kesempatan yang sama untuk mencapai suatu potensi. Di era
modern ini, kesetaraan gender dan feminisme menghadapi berbagai tantangan baru
yang kompleks.
Salah satu tantangan utama adalah persistensi budaya patriarki. Meskipun
banyak kemajuan telah dicapai, nilai-nilai patriarki yang mendalam masih
mengakar kuat dalam banyak masyarakat. Stereotip gender, diskriminasi, dan
kekerasan terhadap perempuan masih menjadi masalah yang serius. Budaya
patriarki seringkali membatasi peluang perempuan dan memperkuat
ketidaksetaraan.
Munculnya gerakan
anti-feminisme juga menjadi tantangan yang signifikan.
Aliran-aliran yang mengkritik feminisme seringkali menggunakan argumen yang menyesatkan
dan bahkan berbahaya. Mereka seringkali mengklaim bahwa feminisme mengancam
keluarga tradisional atau memicu permusuhan antara laki-laki dan perempuan. Hal
ini membuat perjuangan feminisme semakin sulit dan menimbulkan polarisasi dalam
masyarakat.
Interseksi identitas juga
menjadi tantangan baru dalam gerakan feminisme. Perempuan tidak hanya
menghadapi diskriminasi gender, tetapi juga diskriminasi berdasarkan ras,
etnis, kelas sosial, orientasi seksual, dan disabilitas. Feminisme
interseksional berusaha untuk mengatasi kompleksitas penindasan ini, tetapi
masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan untuk memastikan bahwa semua
perempuan merasa terwakili dan didengar.
Simone de
Beauvoir (1908-1986), filsuf perempuan dan tokoh feminisme Prancis dalam
bukunya Le Deuxième
Sexe dan The
Second Sex (1949) yang pernah melontarkan protes kerasnya
perihal perlakuan terhadap perempuan di tengah masyarakat Eropa dengan
kalimat: “One who is
not born is the Other, but woman.” Ya, perempuan tidak
terlahir, melainkan dicetak, dibentuk. Itu artinya, perempuan tertindas dan
terpenjara sekaligus terdepak dari kesetaraan (Abagnano, 2024).
Feminisme, kesetaraan gender, dan perempuan adalah
konsep-konsep yang saling terkait dan memiliki implikasi yang luas bagi
kehidupan kita. Dengan memahami konsep-konsep ini, kita dapat lebih baik dalam
mengatasi ketidaksetaraan gender dan membangun masyarakat yang lebih adil dan
setara.
Feminisme bukan tentang
membenci laki-laki, tetapi tentang menciptakan dunia yang lebih baik bagi semua
orang. Feminisme mengajak kita untuk merefleksikan peran gender dalam
masyarakat dan bekerja sama untuk membangun masa depan yang lebih setara.
Rike Diana Putri
Santri Pusat Kajian Filsafat dan Teologi