Bagaikan air bah yang tak mampu dikekang, anarkisme ialah suatu ideologi yang menolak otoritas dan menentang struktur hierarki. Meskipun demikian, ideologi ini memiliki tujuan yang luhur, yakni kebebasan dan keleluasaan tak terbatas.

Dalam arusnya sendiri, terkandung impian tentang dunia yang terbebas dari dominasi. Sehingga setiap individu memiliki kesamaan hak dalam lingkungan maupun kehidupannya sendiri, semua itu mengarah pada satu hal yang spesifik; muara kebebasan.

Berangkat dari hal tersebut, tulisan ini akan memberikan tinjauan singkat tentang jejak sejarah anarkisme, menggali pemikiran para tokohnya, menyingkap kecacatan logika dalam praktiknya, hingga menemukan jalan yang seharusnya ditempuh.

Anarkisme sendiri lahir dari Rahim kekecewaan terhadap ketidakadilan dan penindasan negara. Pada abad ke-19 ketika kapitalisme dan industrialisasi memperbudak manusia, beberapa pemikir mulai merumuskan perlawanan terhadap struktur kekuasaan yang mereka anggap tirani.

Pierre-Joseph Proudhon, seorang filsuf asal Prancis yang mencetuskan gagasan radikal bahwa "kepemilikan adalah pencurian" dalam bukunya What is Property? (1840). Di sinilah anarkisme pertama kali dirumuskan secara eksplisit; menolak gagasan bahwa satu orang bisa memiliki kekuasaan atas harta atau kehidupan orang lain.

Tidak lama kemudian muncul juga Mikhail Bakunin, seorang revolusioner asal Rusia yang memperkaya gagasan anarkisme dengan pandangannya yang lebih tajam. Ia melihat negara sebagai instrumen penindasan yang harus dihancurkan – bukan direformasi.

Bakunin sendiri merupakan pendukung dari gagasan revolusi sosial sebagai cara untuk mencapai kebebasan yang diidamkan. Dalam karyanya yang berjudul God and the State (1882), ia menegaskan bahwa semua bentuk otoritas harus dilawan, baik itu negara, agama, maupun ekonomi.

Tak berhenti sampai situ, seorang bangsawan Rusia yang berpaling menjadi anarkis ternyata menawarkan pendekatan yang lebih optimis. Sosok tersebut bernama Peter Kropotkin yang menekankan bahwa manusia ialah makhluk yang cenderung bekerja sama daripada berkompetisi.

Di samping itu, ia juga memperkenalkan konsep “anarko-komunisme” dalam bukunya yang berjudul The Conquest of Bread (1892); masyarakat tanpa negara yang dapat berfungsi melalui prinsip saling membantu terhadap kepemilikan atas sumber daya.

Melalui tokoh-tokoh tersebut, anarkisme sendiri mampu berkembang pesat di Eropa dan Amerika pada akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20, dengan berbagai gerakan buruh anarko-sindikalis yang memperjuangkan hak-hak pekerja dan membangun serikat-serikat independen tanpa hierarki.

Dalam perkembangannya, anarkisme terbagi menjadi beberapa aliran, seperti anarko-sindikalisme, anarko-komunisme, dan anarkisme individualis yang masing-masing menggunakan pendekatan berbeda terhadap cara mencapai kebebasan.

Aliran yang paling terkenal adalah anarko-sindikalisme; gerakan yang berusaha menggantikan kapitalisme dengan tatanan sosial yang diatur oleh serikat-serikat pekerja. Revolusi Spanyol tahun 1936 menjadi titik kulminasi dari gagasan ini melalui ribuan buruh anarko-sindikalis mengorganisir masyarakat tanpa negara di wilayah Catalonia, Spanyol.

Sehingga pada saat itu kehidupan sosial diatur secara kolektif, tanah dan pabrik-pabrik dikelola oleh para pekerja, sehingga demokrasi langsung menjadi prinsip utama. Namun seiring dengan berjalannya waktu, anarkisme mulai kehilangan daya tariknya karena tergerus oleh komunisme dan sosialisme yang lebih terorganisir.

Meskipun demikian, ideologi ini tidak pernah benar-benar padam. Dalam dekade-dekade terakhir, anarkisme mengalami kebangkitan di kalangan aktivis anti-globalisasi, gerakan mahasiswa, dan komunitas-komunitas otonom di seluruh dunia, termasuk Indonesia.

Di Indonesia, anarkisme mulai muncul dalam gerakan mahasiswa pada tahun 1990-an, terutama sebagai respons terhadap represifnya rezim Orde Baru. Kelompok-kelompok mahasiswa anarkis di kota-kota besar seperti Yogyakarta, Jakarta, dan Bandung menyuarakan perlawanan terhadap kapitalisme global, otoritarianisme negara, dan kebijakan neoliberal.

Mereka mengorganisir aksi-aksi perlawanan dengan menggunakan taktik frontal yang militan dengan mengenakan simbol yang berbentuk “A” dalam lingkaran sebagai bentuk yang dapat menunjukkan eksistensinya.

Namun, tidak jarang anarkisme di Indonesia disalahartikan sebagai ideologi yang identik dengan kekerasan dan vandalisme. Citra ini muncul karena seringnya aksi-aksi protes yang diwarnai bentrokan dengan aparat.

Padahal, banyak dari kelompok anarkis yang lebih menekankan pada solidaritas, demokrasi langsung, dan perjuangan melawan ketidakadilan sistemik, sesuai dengan prinsip dasar anarkisme.

Sebagai ideologi, anarkisme juga kerap kali tidak lepas dari berbagai kesalahan berpikir yang menghambat pemahamannya. Salah satu logical fallacy yang sering ditemui adalah false dilemma atau dilema palsu. Banyak kaum anarkis, terutama yang lebih dogmatis, menganggap bahwa satu-satunya pilihan adalah antara negara otoriter atau masyarakat tanpa negara.

Mereka gagal melihat bahwa ada kemungkinan untuk mengembangkan struktur sosial yang lebih fleksibel dan non-hierarkis tanpa sepenuhnya meninggalkan institusi negara. Oleh karena itulah gerakan ini juga kerap kali terjerumus dalam kecelakaan intelektual para penganutnya.

Selain itu, appeal to purity juga menjadi masalah dalam gerakan anarkis. Beberapa anarkis menolak kompromi politik atau kerja sama dengan kelompok lain karena dianggap tidak murni secara ideologis. Sikap ini sering kali menciptakan perpecahan dalam gerakan dan menghambat kemajuan praktis dalam mencapai tujuan yang diinginkan.

Di sisi lain, kritik terhadap anarkisme juga sering kali menggunakan straw man fallacy di mana anarkisme digambarkan sebagai gerakan yang hanya menginginkan kekacauan dan destruksi.

Padahal, anarkisme dalam pengertian aslinya justru mengusulkan tatanan sosial yang lebih adil, di mana otoritas tidak digunakan untuk menindas, melainkan untuk mendukung kebebasan dan kesejahteraan bersama. Oleh karenanya, anarkisme tidak seharusnya menjadi kekacauan yang destruktif. Ia harus menjadi arus yang membawa kebebasan dan keadilan sosial.

Dalam konteks ini, anarkisme seharusnya digunakan sebagai alat untuk menciptakan ruang dimana individu dan komunitas bisa berkembang tanpa penindasan. Demokrasi langsung, solidaritas, dan kerjasama harus menjadi nilai-nilai utama yang dipegang.

Anarkisme juga tidak boleh mengasingkan dirinya dari gerakan sosial lainnya. Seperti yang diungkapkan oleh Emma Goldman dalam esainya Anarchism and Other Essays (1910), "Anarkisme bukanlah tujuan akhir, tetapi alat untuk mencapai kebebasan."

Dalam praktiknya, anarkisme harus mampu beradaptasi dan bekerja sama dengan berbagai kekuatan politik dan sosial untuk mewujudkan tatanan dunia yang lebih baik.

Pemikiran yang diungkapkan oleh Emma Goldman tersebut menjadi sangat kongkrit bahwa tanpa diarahkan oleh pengetahuan dan diilhami dengan cinta, atau mungkin saja akan tetap banyak anarko secara individu atau kelompok yang nasibnya akan berujung seperti Fujitora, Uchiha Madara, Monkey D. Garp hingga Thanos.

Meski sering di salah pahami, anarkisme merupakan sebuah gerakan yang menawarkan visi radikal tentang kebebasan dan keadilan. Dari gagasan awal Proudhon hingga gerakan kontemporer, anarkisme telah menempuh perjalanan panjang sebagai sebuah arus ideologis yang menolak otoritas dan penindasan.

Namun, di tengah perjalanannya, anarkisme harus mampu menghadapi tantangan-tantangan logis dan politik, serta belajar bekerja sama dengan kekuatan lain untuk mencapai kebebasan yang diimpikan. Seperti sungai yang menemukan jalannya menuju lautan, anarkisme harus mampu menavigasi rintangannya untuk mencapai kebebasan sejati. 

Wallahu a’lam bishawab.

Gilang Tahes Pratama

Santri Pusat Kajian dan Teologi