Kegiatan diskusi Kongkow Bareng Mahasiswa (Kobam) yang diselenggarakan oleh Pusat Kajian Filsafat dan Teologi (PKFT) Tulungagung dengan berkolaborasi dengan Gusdurian Bonorowo Tulungagung menyoroti soal Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2024 tentang Perubahan atas PP Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara. Kobam digelar bertempat di Loka Kopi pada hari Sabtu, 29 juni 2024 dengan mengusung tema “Tiada Tambang Yang Berkonotasi Hijau: Telaah Nilai-nilai Aswaja dalam Aspek Pertambangan”.

Acara ini menghadirkan 3 (tiga) pembicara dengan latar belakang yang berbeda. Mulai dari Dr. M. Kholid Thohiri, M.Pd.I. yang menjabat sebagai Ketua Lembaga Kajian dan Riset GP Ansor Cabang Tulungagung, lalu ada Habiburrahman Tamba, S.Ag. selaku Sekretaris Jendral Gusdurian Bonorowo Tulungagung, dan yang terakhir seorang dosen muda UIN SATU Tulungagung, A. Zahid Waris, M.Si.

Acara ini dipandu oleh santri PKFT Tulungagung, Gilang Tahes Pratama sebagai moderator diskusi. Dialektika dimulai dari pembicara Kang Kholid – sapaan akrab Dr. M. Kholid Thohiri, M.Pd.I., mengatakan “Untuk sekarang agama dituntut harus mampu masuk ke isu-isu yang tak tersentuh”. Hal ini berkaitan dengan organisasi agama seperti Nahdlatul Ulama (NU) pada saat ini tidak harus melulu tentang pesantren, ngaji, akademisi, bahkan harus lebih dari sekedar itu.

Ia membangun argumentasinya dengan secara konsep ekoteologi dan bahtsul masail bahwa perusakan lingkungan tidak boleh. Kang Kholid menambahkan dengan perspektif dan pendekatan maqashid syariah dengan konsep menjaga agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Serta diimbuhkan cara pandang ulama kontemporer dengan menjaga lingkungan.

Seandainya nanti NU menerima pengelolaan tambang (secara administratif), maka tantangannya adalah bagaimana menghadirkan pengelolaan berbasis agama dengan yang bukan. Hal ini karena menurut pandangnya gagasan ketua umum PBNU tentang Fikih peradaban bukan hanya bualan dan berusaha untuk direalisasikan melalui tata kelola tambang, dengan berprinsip ramah lingkungan dan berkeadilan.

Berlawanan dengan hal tersebut, Habiburrahman Tamba, S.Ag. justru kontra terhadap argumen dari pembicara pertama. “Gusdurian menolak dan menganggap tambang yang di berikan Jokowi adalah suatu tindak kejahatan”, begitu paparnya.

Sekjend Gusdurian Bonorowo itu menambahkan ”Tidak perlu penjelasan yang tinggi-tinggi, bahwa pengerukan ini banyak mudharatnya, bisa dilihat saat menambang mulai dari membuka lahan, pengerukan, mengangkut, itu semua merugikan bagi warga sekitar serta lingkungan, konklusinya adalah menimbulkan mudharat. Pengawalan terhadap Fikih Lingkungan itu sangat sulit, bisa, tapi sulit”. Dari argumentasi ini dapat dipahami bahwa Tamba memberikan prespektif dari warga yang terdampak oleh adanya tambang. Karena memang pada faktanya cukup banyak beberapa pengalaman pahit masyarakat sekitar tambang yang saat ini telah terdokumentasi.

Dalam diskusi tersebut guyuran tantangan terhadap keputusan PBNU muncul satu-persatu. Seperti yang dinyatakan oleh pembicara ketiga, A. Zahid Waris, M.Si. melontarkan “Bagaimana prosedur penambangan yang tidak merusak lingkungan?“.

Tidak berbeda jauh dengan Tamba, dengan bahasa akademis Zahid mengatakan “Resiko dari adanya tambang ini tidak hanya berdampak pada lingkungan saja, tetapi hingga risiko sosial serta resiko mental”.

Pada penghujung penyampaiannya, dipaparkan sejarah singkat mengenai kerusakan-kerusakan lingkungan yang terjadi dari zaman ke zaman dari perspektif agama dan filsafat. Karena paradigma masyarakat kembali kepada paradigma antroposentrisme.

Dalam menyikapi opini yang telah dilontarkan masyarakat terhadap sikap PBNU dalam persoalan tambang dengan mengatakan NU sebagai perusak lingkungan, menurut seorang dosen muda itu juga kurang tepat. Dalam sejarahnya Muktamar NU tahun 1994 melahirkan jihad lingkungan hidup. “Kalau membicarakan PBNU berarti secara organisasi, tapi kalau bicara NU lebih merujuk kepada sumbernya, ahlussunnah wal jamaah,” pungkasnya.

Diskusi ini menjadi tanda bahwa keputusan PBNU – dalam hal ini ormas keagamaan yang pertama menerima tentang kelola tambang tidak dapat dilakukan dengan mudah. Hal ini berkaitan dengan berbagai pengalaman buruk masyarakat terdampak, sekaligus beberapa bekas tambang yang mangkrak tanpa adanya pemulihan lingkungan. Terdapat banyak film-film dokumenter mengenai dampak buruk tambang yang menunjukkan keputusan ini seakan memiliki Mudharat yang besar.

Achmad Ali Akbar

Santri Pusat Kajian Filsafat dan Teologi