Konon,
teknologi diciptakan guna meringankan aktivitas manusia sehari-hari. Namun
siapa sangka, istilah itu—teknologi—saat ini berhasil memakai topeng untuk
menghibur manusia.
Dalam
kehidupan sehari-hari manusia tentu memiliki tugas-tugas personal yang
horizontal; belajar, bekerja, bahkan berwisata guna membentuk kerekatan sosial
dan menepis sejauh mungkin sesuatu yang membosankan.
Disamping
itu, ia akan lebih baik jika memiliki semacam kompas kehidupan—berdoa.
Setidaknya dalam hal ini, ia tahu arah dan orientasi dalam segenap aktivitas
kesehariannya.
Berdoa
merupakan salah satu upaya menggapai metafisika. Hal ini dikarenakan adanya
tiga motif doa yakni; egosentris (mendoakan dirinya sendiri), etnosentris
(mendoakan orang lain), dan geosentris (mendoakan sekitar) (Formika, 2010).
Ketiga motif ini merupakan tujuan dari doa yang disematkan pada kuasa
adikodrati.
Jika
ditelaah lebih lanjut, doa sendiri erat kaitannya dengan meditasi. Hal ini
disebabkan oleh adanya kesamaan dari dua aktivitas ini yang memusatkan pikiran
dan perasaan untuk mencapai sesuatu.
Tentunya
yang ingin dicapai merupakan sesuatu yang bersifat personal-subjektif. Personal
dalam artian berawal dari kehendaknya sendiri dan subjektif berasal dari
keinginannya sendiri.
Sejak
zaman dahulu, doa selalu memiliki tempat spesial dalam kehidupan manusia. Tak
dipungkiri juga bagi mereka yang tidak mempunyai maupun mempunyai 'khodam'.
Secara
etimologis 'khodam' sendiri berasal dari bahasa Arab yang berarti pelayan atau
pembantu. Sedangkan secara terminologis, istilah tersebut diartikan sebagai
orang yang mempunyai pendidikan rendah yang tidak berkompetensi dengan gaji
yang rendah (Supandi, 2017).
Namun dalam khazanah kebudayaan Nusantara 'khodam' sendiri cenderung dilukiskan dalam wujud ghaib—metafisik.
Hal
tersebut sah-sah saja karena praktik awal yang dibawa oleh leluhur bahwa
'khodam' merupakan 'pembantu' sebagai perlindungan diri sendiri. Selain itu,
tak sedikit pula yang berfungsi sebagai 'special weapon' dalam medan peperangan
kuno.
Zaman
dahulu 'khodam' sendiri tidak bisa dianggap remeh karena mengandung unsur
sakralitas dan mitisisme. Meskipun cenderung dilukiskan secara magis-metafisis,
tapi saat ia memiliki dampak yang realitis.
Namun
belakangan ini 'khodam' memiliki sepupu yang dilahirkan melalui 'rahim' yang
berbeda serta diperoleh dengan cara yang berbeda pula; cek khodam.
Fenomena
ini mengingatkan penulis pada wabah Covid-19 yang kala itu menyebar secara
sporadis dalam kurun waktu yang cepat.
Meskipun
tidak semenakutkan dan semematikan virus kala itu. Menurut hemat penulis,
fenomena ini juga berhasil merampas waktu malam hari yang sebaiknya difungsikan
secara optimal. Setidaknya dalam hal ini ada dua optimalisasi sederhana dari
waktu malam; istirahat dan berdoa.
Istirahat
sendiri telah diabadikan secara jelas dalam Q.S al-Qashash: 73 yang menyoal
tentang fungsi istirahat—tidur—di malam hari guna memaksimalkan aktivitas
ketika siang hari.
Praktik
semacam itu mampu menjaga kesehatan dan kestabilan emosi manusia. Dengan tidur
malam tubuhnya dapat melakukan regenerasi sel dan terhindar sifat tempramental
yang menjadi gerbang awal datangnya penyakit fisik maupun psikis (Musiam, 2019).
Selain
itu, malam adalah waktu emas guna bermunajat pada Yang Maha Kuasa. Hal ini juga
diwartakan dalam Q.S al-Isra: 79.
Tampaknya
dua ayat di atas seakan menunjukkan bahwa saripati dari malam hari ialah momen
yang pas untuk membina yang 'egosentris'. Pembinaan ini dalam artian
pengendalian internal diri sendiri oleh kehendak pribadi yang ia miliki,
terlepas dari aktivitas padat yang ia jalani.
Tak
dapat dipungkiri bahwa nafas kapitalis telah menjadi bagian dari kehidupan
modern. Di lain sisi, teknologi dan kapitalis seperti menjadi nabi fiktif abad
ini.
Seluruh
perkembangan dan konten yang diproduksi yang seringkali berhasil—viral, akan
diikuti oleh manusia yang ter'akun-akun'. Secara perlahan server kesadaran yang
ia miliki akan bergeser dari yang nyata menuju yang maya.
Senada
dengan istilah pergeseran paradigma yang diusung oleh Thomas Khun, ia selalu
disertai oleh tumbuhnya teknologi baru—inovasi. Menurut hemat penulis, inilah
yang disebut dengan perapuhan metafisika.
Terlepas dari kekuatan dan kelemahan yang dikandung oleh metafisik, ia tetaplah mengandung pengetahuan. Setidaknya pengetahuan di sini tak layak jika disikapi sebagai senda gurau.
Akhmad
Rosyi Izzulhaq
Santri
Pusat Kajian Filsafat dan Teologi