Manusia
merupakan makhluk sosial yang tidak bisa hidup tanpa manusia lain. Dalam
aktivitasnya, ia akan membutuhkan orang lain yang lain untuk menjalani hidupnya.
Manusia
juga tidak dapat dipisahkan dari kelompok masyarakat karena ia memiliki naluri
untuk hidup bersama dengan orang lain dan berinteraksi sosial.
Interaksi sosial dapat
dilakukan dengan cara berbincang, berjabat tangan, bertanya, bekerja sama, dan
sebagainya. Di era digital saat ini interaksi sosial dapat dilakukan secara
daring tanpa tatap muka, seperti melakukan panggilan suara atau video melalui
telepon dan mengirim pesan melalui aplikasi. Sehingga sangat mustahil apabila
manusia tidak saling berinteraksi satu sama lain.
Hubungan
sosial antara laki-laki dan perempuan tidak bisa dipisahkan. Karena laki-laki
tidak bisa hidup tanpa perempuan dan begitupun sebaliknya, perempuan tidak bisa
hidup tanpa seorang laki-laki. Pandangan agama Islam laki-laki dan perempuan
memiliki kesetaraan dihadapan Allah Swt. Namun memiliki perbedaan sifat
diantara keduanya sehingga memunculkan ciri khusus dan pada akhirnya akan
saling melengkapi satu sama lain (Sidiq and Erihadiana 2022).
Buku
Tuntunan Menuju Keluarga Sakinah, Al-Qur’an menyebutkan prinsip relasi
kesetaraan antara perempuan dan laki-laki. Pertama, laki-laki dan
perempuan adalah sama-sama sebagai hamba Allah, hanya saja yang membedakan
adalah kualitas iman, takwa, dan amal sholihnya (QS. Adz-Dzariyat: 56). Kedua,
laki-laki dan perempuan sama-sama sebagai khalifah Allah di muka bumi yang sama
sama memiliki kesempatan menjalankan fungsi dalam mengelola, memakmurkan dan
memimpin seseuai dengan potensi dan peran yang dilakukan (QS.
Al Baqarah: 30 dan QS. at-Taubah: 71).
Nilai-nilai
kesetaraan jika diimplementasikan bisa menciptakan kehidupan yang harmoni. Maka
dari itu konsep kesetaraan harus dibangun dan dipahami, apalagi kesetaraan
gender. Kesetaran gender merupakan sesuatu hak asasi kita sebagai manusia, baik
hak untuk hidup secara terhormat, bebas dari rasa ketakutan dan bebas
menentukan pilihan hidup.
Kesetaraan gender
merupakan konsep dikembangkan dengan mengacu pada dua instrumen internasional
yang mendasar dalam hal ini yakni Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia dan
Konvensi Penghapusan Segala
bentuk diskriminasi terhadap Perempuan (Pendahuluan 2007). Konsep kesetaraan gender merujuk pada kesetaraan penuh
laki-laki dan perempuan untuk menikmati rangkaian lengkap hak-hak politik,
ekonomi, sipil, sosial dan budaya.
Dalam
kajian gender, kaum perempuan selalu menjadi subyek subordinat yang mana hal
ini dipengaruhi oleh subyektifitas penafsiran dan interpretasi dalam Ayat
Alquran. Perempuan tidak diakui sebagai manusia utuh, tidak berhak
mempresentasikan diri, dilarang menjadi pemimpin, dipojokkan sebagai makhluk
domestik, dan terbelakang. Ini disebabkan oleh budaya patriarki dalam Islam
yang telah memarjinalkan wanita.
Kultur
budaya Islam cenderung menganggap laki-laki dan wanita sebagai anggota umat
manusia yang berbeda. Berakar dari sini Amina Wadud menggagas interpretasi
gender dan feminism didalam Alquran. Dalam
konteks Islam persoalan gender merupakan
contoh nyata betapa antara teks kitab suci, penafsiran terhadapnya, dan konteks
sosial yang melingkupi sering terjadi benturan-benturan dan ketegangan.
Keberagaman
ini perlu dikritisi
karena sama-sama mengklaim dirinya berpegang pada kitab suci
al Qur’an. Isu gender sesungguhnya lahir dari kesadaran kritis kaum perempuan
terhadap keterbelakangan kaumnya. Bila kita telusuri sejarah kelam kaum
perempuan pada masa lampau khususnya eksistensi atau keberadaan perempuan
dimata agama-agama, misalnya saja agama yahudi
yang menjauhi perempuan
yang haid dan diasingkan ke suatu tempat yang khusus.
Amina Wadud
Muhsin adalah salah satu pemikir feminis kelahiran Malaysia. Dia
menamatkan studinya dari
pendidikan dasar hingga
perguruan tinggi di
Malaysia. Dia menamatkan sarjana dari Universitas Antar Bangsa, gelar magister
dari University of Michigan Amerika Serikat tahun 1989, dan
doktornya dari Harvard
University tahun 1991-1993.
Sekarang ia tinggal di Amerika Serikat menjabat salah satu guru besar di
Departemen Filsafat dan Studi Agama pada Universitas Commenwelth di Virginia (Setyawan 2017).
Dalam
bukunya Qur’an and Woman, (Arbain, Azizah, and Sari 2017) Amina
mengawali pembahasannya dengan mengritik penafsiran-penafsiran yang selama ini
ada mengenai perempuan dalam Islam. Ia membagi
penafsiran tersebut ke
dalam tiga kategori, yaitu
tradisional, reaktif, dan holistik.
Tafsir
Tradisional menurut Amina memberikan model interpretasi tertentu sesuai dengan
minat dan kemampuan mufassirnya yang bisa bersifat hukum, tasawuf, gramatik,
retorik, atau historis. Metodologi yang digunakan juga bersifat atomistik,
yaitu penafsiran dilakukan dengan mengupas ayat per ayat secara berurutan.
Tidak ada
upaya untuk menempatkan dan mengelompokkan ayat-ayat sejenis ke dalam
pokok-pokok bahasan yang tertulis.Yang ditekankan oleh Amina bahwa
tafsir-tafsir tradisional itu ditulis oleh kaum laki-laki secara eksklusif.
Itulah sebabnya maka hanya laki-laki dan pengalaman laki-laki saja yang
direkomendasikan dalam tafsir itu.
Metode
penafsiran yang digunakan Amina adalah metode yang pernah ditawarkanoleh Fazlur
Rahman, yaitu metode neomodernis. Rahman berpendapat bahwa ayat-ayat al-Qur’an
yang diturunkan dalam waktu tertentu
dalam sejarah dengan keadaan yang umum dan khusus yang menyertainy
menggunakan ungkapan yang relatif mengenai situasi yang bersangkutan. Oleh
karena itu, pesan al-Qur’an tidak bisa dibatasi oleh situasi historis pada saat
ia wahyukan saja.
Ro’iyal A’la Muzakki
Santri Pusat Kajian Filsafat dan Teologi