Saat itu saya sedang melamun dengan sebatang rokok, tetapi seketika perhatian saya teralihkan terhadap anak-anak yang terlihat sedang bermain gadet. Tak lama saya juga mendengar beberapa kata-kata kasar keluar dari mereka. Melihat fenomena kecil ini terlintas satu pertanyaan di otak saya, apakah setiap mereka benar- benar dididik begitu dengan lingkunganya?
Mungkin beberapa orang menyetujui perkembangan
teknosentrisme pendidikan sebagai kemajuan dan euforia zaman. Akan tetapi,
keinstanan teknologi tersebut membuat daya juang kreatif anak menurun. Saya
bertanya dimana Dolanan Tradisional?, Seperti
Enggrang, Ghobak Shoodor, Delikan, Dakon,
Cublak- cublak suweng?
Kemana pendidikan bermain anak itu pergi?,
Adalah pertanyaan besar bagi kita-kita yang memainkan peran vital mendidik anak.
Anak zaman ini terlalu didewasakan oleh arus fyp, tiktok, dan youtube.
Feature youtube kids, tiktok kids hanyalah bualan dari kapitalisme digital yang
menjerat, serta menghapus nilai- nilai dolanan tradisional pada anak.
Mereka menganggap kemajuan grafik, feature, console dan
lainnya, adalah hal yang ngetrend dan modernis, padahal zaman modern mengalami
banyak kehilangan nilai- nilai dari umat manusia (Dehumanisasi). Lihatlah anak- anak sekarang yang mudah marah, mudah
dibawa perasaan orang dewasa, kehilangan nilai- nilai sportivitas dan
kebersamaan serta gotong royong, nilai moral. (Pratidina: 2023)
Krisis kebersamaan daya kreatif semakin
berkurang, seperti bagaimana suatu kelompok anak kecil bermain menciptakan hal-
hal baru dengan membuat alat seadanya, dulu ketika zaman saya kecil saya pernah
membuat mobil-mobilan pakai kulit jeruk bali, tapi entah sekarang masih ada
atau tidak. Tantangan akan teknosentrisme semakin terlihat jelas di permukaan, belum
lagi perkembangan AI dan Robot semakin merata. Penjajahan baru dalam bentuk
budaya semakin di depan mata.
Anak- Anak Pemalas yang Baper
Anak- anak hari ini tidak merasakan pendidikan
sebagaimana dahulu perihal cara mendidik hingga dengan fisik adalah hal yang
lumrah, dengan tujuan melatih mentalitas, dan daya juangnya. Tapi pada hari
ini, semuanya mudah baper, mudah marah, dicubit guru-pun lapor. Entah mengapa mereka seharusnya menikmati
dunianya menjadi menikmati dunia yang sama sekali kekurangan kepastian mengenai
kejelasannya, yakni dunia maya, yang mudah terbawa perasaan dari teks- teks
yang ada atau dari ruang virtual yang semakin bergema.
Aplikasi permainan online, menjadikan anak
individualistik, walaupun nilai- nilai konstruktif tetap ada. Tetapi permainan
online membawa dia kepada imajinasi- imajinasi liar tanpa face to face. Ia kehilangan semangat survive, mencoba hal baru,
hanya terjebak dengan sistem permainan yang melelahkan dan budaya konsumerisme
salah satunya top up.
Anak yang mudah baper, belum ditambah pacaran
dibawah umur, pergaulan bebas, karena semakin hilangnya peran Dolanan Tradisional ketika usia dini.
Padahal, Dolanan Tradisional
mengajarkan banyak nilai-nilai kehidupan seperti kesabaran, kreativitas, daya
juang, mentalitas, religi. Tapi pada hari ini Dolanan Tradisional faktanya telah dilupakan dan dianggap kuno. Karena,
Dolanan Tradisional dianggap kurang relevan dan tidak mengasyikan lagi.
Padahal orang tua zaman dahulu mendidik anak sangat kolektif, melalui syair
lagu dan permainan- permainan yang mengasyikan. Berbeda pada hari ini yang
serba instan, dan mudah baperan.
Pendidikan Krisis Nilai
Kenyataannya, pendidikan saat ini berada dalam
krisis nilai. Pendidikan hanya menghasilkan produk atau lulusan yang cerdas
kognitif, memiliki banyak teori dan teknologi, namun kurang memiliki nilai
kemanusiaan dan sosial dalam penerapannya. Pertanyaan yang sering muncul,
bagaimana caranya agar anak mendapat nilai yang tinggi? Keberhasilan seorang anak hanya diukur dari
angka, penguasaan teknologi, cepatnya menyelesaikan gelar sarjana, magister,
doktor atau guru besar, dimana ia harus bekerja setelah lulus dari lembaga
pendidikan tersebut dan seterusnya.
Nilai-nilai kemanusiaan, kejujuran,
kedisiplinan, rasa tanggung jawab sudah terlupakan dan kurang mendapat
perhatian baik dari lembaga pendidikan maupun masyarakat. Bayangkan saja,
seorang anak kecil yang harus bangun jam tujuh pagi kemudian upacara, menghadap
buku materi dan materi. Tidak ada ruang bermain yang bisa mendidik anak- anak tersebut
bisa mengambil pelajaran- pelajaran yang ada. Menurut saya ini menjadi masalah
fatal yang ada di pendidikan indonesia.
Anak- anak harus diajarkan kembali dengan dolanan- dolanan tradisional yang ada, dari hal tersebut semoga lahir generasi hijau, yang dapat menyadarkan bahwasanya teknologi sudah melampaui manusia dan kemanusiaanya. Kita harus belajar dari hal- hal kuno dan kearifan lokal, supaya kita tidak disebut dengan Subjek yang mati- Michel Foucault. Mungkin itu saja ada kurang lebihnya kita diskusikan bersama.