Alih-alih mencoba memecahkan masalah pasokan
makanan yang terjangkau untuk kelas bawah, politisi melihatnya sebagai
kesempatan untuk membuat orang memilih mereka. Politisi berasumsi bahwa ketika perut kenyang, orang siap melakukan
apa saja
yang diinginkan politisi.
Dalam berbagai kesempatan, mereka –baik yang menduduki jabatan publik
maupun yang tidak– suka berbagi kebutuhan dasarnya. Sembako diberikan kepada
masyarakat dalam tas berlogo partai dan foto wajah politisi. Tentunya masyarakat senang dengan adanya paket tersebut.
Namun apa benar itu murni kehendak nurani dengan kepedulian terhadap kehidupan kebanyakan orang, atau juga ditutupi
oleh kepentingan politik? Tampaknya secara arbiter mereka memang
menfaatkan kesulitan rakyat dengan mengenyangkan perutnya dan mengarahkan untuk
tetap tunduk pada kehendak para politisi.
Adegan pemberian minyak goreng yang beredar di
berbagai media jelas menunjukkan motif di baliknya. Seorang pemimpin partai,
politisi berpangkat tinggi, maupun seorang pegawai negeri senior membagikan paket minyak goreng
kepada warga. Uniknya lagi, mereka berjanji untuk mendistribusikan minyak secara teratur di masa
depan dengan syarat memilih anak-anak mereka pada hari pemilihan.
Tidak ada yang disembunyikan! Jelas motif politik menjadi dasar
dan alasan pendistribusian minyak goreng. Motif serupa mendasari kedermawanan
politisi pada umumnya. Niat mereka tak lebih dari menyasar pada perut
rakyat saat mereka meminta untuk memilih di hari pemilihan.
Di lain sisi, ketika masyarakat mendapat masalah karena mahalnya harga sembako, para politisi melihatnya sebagai peluang politik untuk meyakinkan
masyarakat. Oleh karenanya, tidak ada makan siang yang benar-benar gratis untuk politisi maupun untuk rakyat.
Para calon
ini secara terbuka mengatakan kepada warga bahwa dia akan secara teratur
memutuskan pilihan warga dalam pemilihan berikutnya. Imbalannya, para politisi
murahan memberi harga suara rakyat minyak goreng atau sejenis sembako. Orang biasanya tidak peduli karena dalam situasi ekonomi kurang baik, orang membutuhkan minyak atau kebutuhan sehari-hari lainnya. Sehingga rakyat akan menjadi objek politik.
Konsekuensinya pendidikan politik tidak pernah berjalan dengan baik. Jika
distribusi sembako dipandang oleh politisi sebagai pendidikan kewarganegaraan, maka hal itu bisa dikatakan bukan cara yang tepat untuk meningkatkan kesadaran
berdemokrasi masyarakat.
Di sisi lain, kegemaran politisi—elit dan non-elit—untuk memenuhi
kebutuhan dasar masyarakat sebenarnya merupakan pengakuan bahwa masyarakat
membutuhkan pangan. Dalam benaknya
mereka berpikir jika
harga terus naik, maka masyarakat akan mencari
alternatif untuk memenuhi kebutuhan pokoknya. Sehingga
masyarakat tadi terus menambahkan lebih banyak ikat pinggang tahu.
Alih-alih mencoba memecahkan masalah pasokan makanan dengan cara
yang membuat harga terjangkau bagi kelas pekerja, mereka justru melihatnya sebagai peluang untuk membujuk orang agar memilih
mereka. Dari sini para politisi arbiter memang memanfaatkan kesulitan rakyat. Singkatnya ketika rakyat sudah kenyang, rakyat
akan tunduk pada kehendak para politisi.
Jika niat politisi murni baik hati, seharusnya tidak perlu meminta
orang untuk memilih. Pergi untuk perut adalah suap, bukan pendidikan politik.
Padahal,
seharusnya politisi mengajak masyarakat untuk berinisiatif dan mendukung upaya
membuat lumbung pangan tahan terhadap segala macam gangguan sehingga harga bisa
terjangkau oleh masyarakat.
Tapi mungkin saja para
msayarakat belum merasakan hal yang paling
nyaman bagi kebanyakan orang. Yakni
peningkatan kesadaran akan kemungkinan hubungan kekuasaan di antara mereka dalam rangka membangun peradaban yang lebih baik
kedepannya.
Santri Pusat Kajian Filsafat dan Teologi