Pergantian tahun masehi adalah momen yang cukup meriah di
abad 21 ini, tampaknya hal itu dipengaruhi oleh penanggalan masehi yang
berfungsi secara universal. Selain itu, pengaruh teknologi yang menghegemoni juga
ikut memengaruhi manusia secara kolektif untuk terhindar dari istilah ‘Fear of Missing Out (FoMO). Namun di
sisi lain juga masih ada sebagian masyarakat yang menjadikan pergantian tahun
untuk momen merefleksikan diri.
FoMO sendiri muncul
pada tahun 2004. Akronim tersebut dicetuskan oleh Patrick J. McGinnis dalam
artikel yang ia tulis sendiri dan dimuat dalam majalah Harvard Business Scholl (HBS) pada tahun yang sama.
Pada awalnya McGinnis ingin mendeskripsikan suatu kondisi
yang ia alami sewaktu kuliah di HBS. Pada waktu itu, kehidupan setiap mahasiswa
didominasi oleh egonya sendiri-sendiri. Banyaknya ego tersebut juga saling
mendominasi satu sama lain, sehingga beberapa orang merasa takut akan
lingkungan yang seperti itu.
Rasa takut yang dimaksud adalah takut
melewatkan kegiatan apapun yang berlangsung di lingkungan sekitar, terkhusus pada
kegiatan yang berpotensi menjadi lebih besar, lebih keren, dan lebih menggugah daripada
yang dikerjakan dalam skala pribadi (McGinnis, 2020). Hal semacam itu
berpotensi adanya pemojokan pada individu tertentu, sehingga mereka merasa
takut dan terancam bentuk alienasi skala kecil. Namun skala tersebut akan terus
bertambah seiring dengan meningkatnya potensi meriahnya kegiatan.
Pada awalnya belum ada istilah khusus
yang menunjukkan secara spesifik perasaan takut semacam itu. Oleh karenanya
McGinnis yang merupakan bagian dari orang-orang yang merasakan ketakutan dan
ancaman yang sama, ia kemudian memunculkan sendiri istilah Fear of Missing Out (FoMO).
Meskipun berawal dari dimensi akademik,
tapi istilah ini mulai menyebar secara cepat dan meluas pada dimensi-dimensi yang
lain hingga hari ini. Seseorang yang terkena FoMO enggan ketinggalan pengalaman
dalam kehidupan ini. Konsekuensinya yakni jika memang ada orang yang tidak
takut ketinggalan, bisa jadi orang itu memang ‘sudah ketinggalan’ (McGinnis,
2020).
Dalam konteks kehidupan modern, FoMO
sendiri memiliki dampak yang cukup berpengaruh pada taraf psiko-sosial dan
mampu masuk pada setiap kelas sosial. Menurut hemat penulis seseorang yang FoMO
akan berteman setia dengan kegelisahan, karena ia akan menghabiskan banyak hal
yang bukan prioritas.
Pada kadar tertentu FoMO juga membuat
seseorang secara otomatis melakukan kegiatan karena banyak orang lain yang
melakukannya. Singkatnya ia akan otomatis menerima setiap ajakan orang lain,
seperti menerima setiap ajakan kegiatan perayaan pergantian tahun masehi.
Keadaan semacam itu tentunya berdampak
pada individu tertentu, terlebih pada aspek psiko-sosial yang mereka alami.
Mereka yang terlelap pada kondisi FoMO, secara perlahan akan berimbas pada
menurunnya kualitas mental serta berubahnya orientasi sosialnya. Alhasil FoMO
juga berkosekuensi memudarkan bentuk refleksi diri belakangan ini.
Refleksi diri yang seharusnya mampu
dilakukan oleh manusia secara individu akan digeser dengan rasa takut akan
tertinggalnya kegiatan tertentu yang dilakukan oleh lebih banyak orang.
Singkatnya ia otomatis mengarahkan aktivitas hidup pada orientasi panjat sosial
daripada berefleksi.
Pada taraf lanjut, FoMO mampu menjadikan
manusia berkiblat pada satu gaya hidup yang disembah kemudian diunggah di
medsos. Kondisi itu diperkuat dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh
Maulana dkk (2023) bahwa dalam menentukan kiblat gaya hidup, seseorang akan
mengambil referensi dengan melihat kelompok sekitar yang mendominasi.
Kondisi yang demikian akan mengintervensi
aspek psikologi individu tertentu dan secara perlahan akan megarahkan individu
tersebut menjadi budak FoMO tanpa disadari. Ia akan selalu menghamba dan
dihantui rasa cemas akan ketertinggalan terhadap pola aktivitas yang berpotensi
pada tidak diterimanya dalam kelompok yang ia jadikan kiblat.
Cakupan persoalan tersebut tentu akan
lebih luas lagi karena saling mempengaruhi secara dua arah pada level sosial.
Itulah kenapa persoalan FoMO memiliki dampak pada aspek psiko-sosial, yakni
aspek psikologi dan sosial saling beradu pengaruh satu dengan lainnya.
Pada taraf sosial, FoMO hari ini semakin
merajalela karena sudah bersetubuh dengan media sosial (medsos). Hal ini dapat
dipahami bahwa medsos hari ini menjadi wadah yang memberikan jalan bebas
hambatan pada FoMO. Selain itu, adanya konsep Homo Digitalis juga menambah pengaruh yang signifikan terhadap
dikenalnya FoMO pada masyarakat modern.
Pada akhirnya ada salah satu satu krisis
yang menghantui kehidupan abad 21 ini. Krisis tersebut yakni sedikitnya refleksi
individu dalam kehidupannya. Tak bisa dinafikan bahwa momen pergantian tahun
masehi juga akan disusul dengan momen subyektif, yakni bertambahnya angka usia.
Namun jika diantara momen pergantian
tahun dan bertambahnya usia masih satu dalam kungkungan FoMO, maka efek yang
ditimbulkan lagi-lagi hanya mengarah pada aspek legitimasi –panjat sosial. Konteks
yang seperti itu pada akhirnya tidak menemukan garis akhir yang tak berujung.
Secara halus dan tak sadar, individu tersebut akan terus-menerus terhegemoni
untuk selalu update dan mengharuskan
lebur dalam dimensi yang terbalut FoMO.
Kondisi yang terhegemoni itulah yang berpotensi
menyebabkan krisis refleksi diri. Kurangnya refleksi diri karena digeser oleh
ke-FoMO-an adalah konsekuensi lanjut dari tantangan kehidupan modern. Beberapa
memang orang ingin dikenal dan terkenal, tapi ada perbedaan jalan yang mereka
tempuh. Di lain sisi, ketakutan juga selalu menghantui dan mengancam eksistensi
hidup individu maupun kelompok.
Oleh karena itu, menurut penulis mencapai
eksistensi diri adalah satu dari sekian perjuangan yang selalu menemani
kehidupan manusia. Namun sayang, di era sekarang beberapa dari mereka yang
larut dalam FoMO untuk mencapai eksistensi itu. Dalam kadar tertentu manusia
juga harus mampu berefleksi bukan hanya pada kondisi tertekan saja, melainkan
juga mampu merefleksikan pelbagai macam kondisi yang lainnya. Sekian []
Akhmad Rosyi Izzulhaq
Santri Pusat Kajian Filsafat dan Teologi