Bagi sebagian orang, filsafat masih
menjadi momok menakutkan serta dianggap sebagai ilmu yang sulit diterapkan
dalam kehidupan sehari-hari. Terkadang masyarakat umum bahkan mahasiswa juga
masih menganggap ilmu filsafat sebagai ilmu yang rumit untuk dipahami. Hal ini
sering terjadi karena terkadang seorang mahasiswa filsafat masih kaku dalam
penerapan perkembangan-perkembangan keilmuan filsafat.
Penyikapan
terhadap suatu problematika dalam kehidupan sehari-hari acapkali menggunakan
metode yang kaku dan kuno. Entah hal tersebut karena lingkungan yang belum
mendukung teori atau belum adanya interaksi masyarakat yang filosofis. Filsafat
terkadang masih dianggap sebagai ilmu pengetahuan yang kuno, tetapi sebenarnya
filsafat mengalami perkembangan begitu pesat dalam sejarahnya. Sampai pada
akhirnya pemikiran filsafat masih sangat mumpuni untuk membersamai diskursus
ilmu pengetahuan sampai sekarang.
Faktor-faktor ini
saya rasa menjadi penghambat berkembangnya masyarakat yang seharusnya bisa
memiliki pola pikir analitis kritis. Padahal ilmu filsafat sendiri dapat
menjadi jawaban dalam permasalahan-permasalahan dinamika masyarakat. Berbagai
aliran filsafat yang muncul dari pemikiran tokoh selalu menjadi jawaban atas
suatu persoalan.
Selain itu, beberapa
aliran filsafat juga menawarkan metodologi pemecahan masalah dengan menguraikan
setiap proposisi yang janggal dan bermasalah. Melihat dari branding filsafat
yang begitu solutif di zaman munculnya, tidak mungkin filsafat tidak bisa diterapkan
di suatu lingkungan meski dianggap sebagai ilmu yang mbulet.
Dalam penerapan
di lingkungan sekitar, saya menggunakan sampel lingkungan orang Jawa. Selain
karena saya hidup di lingkungan suku Jawa, orang-orang Jawa terkenal ramah dan friendly
dalam pergaulannya. Ini yang mendasari saya untuk menerapkan beberapa teori
filsafat yang katanya orang awam adalah pembelajaran yang sulit dan mbulet.
Saya akan
membantah kepada orang-orang yang mengatakan bahwa filsafat itu tidak relevan
lagi dalam masyarakat masa kini khususnya masyarakat Jawa. Hal ini saya
buktikan dengan mencoba berinteraksi pada masyarakat sehari-hari dengan
menyisipkan ajaran-ajaran filosofis.
Pengetahuan ini
saya dapatkan dari mata kuliah saya di kampus yaitu mata kuliah Studi Alquran
dan Hadist. Apa hubungannya Studi Alquran dan Hadist dengan ilmu Filsafat?
Memang kalau dipikir sekilas, semua itu tidak ada hubungannya atau dalam hal
ini mungkin malah menjadi kontradiksi atas jejak sejarahnya. Dimana komponen
kitab yang berupa firman-firman suci mewakili ajaran agama dan pemikiran yang
rasional serta radikal mewakili filsafat.
Terlepas dari
itu, saya sangat kagum dengan dosen saya yang menggunakan metode berpikir
filosofis untuk membedah pembelajaran studi Islam itu. Dimana dia membentuk
hubungan harmonis antara filsafat dan agama yang dikemas dengan rapi. Dalam
kuliah saya waktu itu, dosen saya menyisipkan ajaran Filsafat Skeptisisme dalam
pembelajarannya untuk menganalisis suatu wacana studi Alquran dan saya
menyebutnya sebagai “Filosofi Kosek”.
Filosofi Kosek
Dalam setiap
pengambilan keputusan dan jawaban atas persoalan pembelajaran, kita tidak boleh
tergesa-gesa dalam menjawab sesuatu. Maka dari itu sering disebut “kosek” yang
menandakan tidak boleh tergesa-gesa. Dalam bahasa Jawa Ngoko atau bahasa
keseharian istilah “Kosek” memiliki arti yang sama dengan “Nanti dulu atau
sebentar” yang dalam hal ini sangat mirip dengan ajaran Skeptisisme ala Rene
Descrates yang dikenal dengan meragu-ragukan sesuatu.
Istilah ‘kosek’
sendiri jika disebutkan secara lengkap menjadi “mengko disik” atau “ngko
disik” yang penyebutannya dipercepat menjadi “kosek”. Didalam
istilah ini saya akan membuktikan bahwa penerapan filsafat dalam kehidupan
sehari-hari tidak harus menggunakan istilah-istilah yang rumit dan
berbelit-belit. Cukup dengan penyerapan bahasa, kolaborasi keilmuan atau
amalan-amalan yang lain dengan tidak mengurangi substansi dari ajaran filsafat
itu sendiri.
Skeptisisme
Dalam buku yang
berjudul Sejarah Filsafat Barat (2004), Bertrand Russell mengatakan
bahwa Rene Descartes adalah tokoh pencetus teori skeptisisme. Secara etimologi,
skeptisisme berasal dari bahasa Yunani skeptomai yang berarti meragukan
atau mempertimbangkan. Secara terminologi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
skeptisisme berasal dari kata skeptis yang berarti kurang percaya atau
ragu-ragu terhadap keberhasilan ilmu, ajaran atau yang lainnya.
Ini menjadi salah
satu aliran filsafat dalam bidang epistemologi yang unik dan kompleks untuk
diterapkan. Skeptisime ala Descartes dalam penerapannya adalah menggunakan
metode pemikiran yang ditangguhkan dahulu atau merujuk pada kehati-hatian dalam
pengungkapan argumentasi maupun penerimaan suatu pendapat. Dalam sejarahnya,
skeptisisme juga pernah dikenalkan oleh Aristoteles dengan menyatakan sikap
menunda putusan atau mempertanyakan segala dugaan. Secara tidak langsung
mengantarkan orang pada sikap berpikir kritis dan analitis.
Dalam buku Pengantar
Filsafat (2014), Descartes menekankan perlunya metode eksak sebagai
landasan yang kokoh bagi segala ilmu, yaitu meragukan segala sesuatu secara
metodis. Jika suatu kebenaran mampu bertahan dalam ujian keraguan radikal ini
maka kebenaran itu 100% pasti dan menjadi landasan seluruh pengetahuan. Sehingga
dalam penerapan metode skeptis ini bertujuan untuk menemukan pengetahuan yang
tak terbantahkan.
Dalam menerima suatu
pengetahuan skeptisisme mengharuskan untuk memiliki kecakapan rasional yang
kritis sehingga tidak dengan mudah menerima atau menolak suatu proposisi. Ketika
kita mendapatkan suatu proposisi, maka kita harus menyangsikannya terlebih
dahulu, mengecek terlebih dahulu dan menganalisis secara kritis. Hal ini
membutuhkan ketelitian yang tinggi sehingga nanti didapatkan hasil atau analisa
yang proporsional.
Skeptis dalam
Keseharian
Istilah skeptis tidak selamanya harus dipandang sebagai sikap yang negatif. Terkadang dalam menyikapi suatu masalah kita dianjurkan untuk bersikap skeptis karena sikap seperti ini mampu membawa kita pada inti permasalahan yang hakiki. Istilah ‘kosek’ dapat menjadi sarana untuk berskeptis secara familiar untuk menganalisis makna secara mendasar sehingga kita tidak tergesa-gesa dalam menyutujui atau menolak suatu proposisi. Dengan demikian, filsafat bukanlah ilmu yang ‘me-langit’. Ia juga masuk dalam kategori ilmu yang ‘mem-bumi’ dan dapat diterapkan dalam proses kehidupan sehari-hari. Sebab pada hakikatnya, fungsi filsafat adalah mengajak kita untuk berpikir kritis dan mendalam tentang berbagai fenomena kehidupan.