Alienasi atau
keterasingan selalu identik dengan pembahasan mengenai sesuatu yang belum
pernah diketahui. Maksudnya, seseorang dapat dikatakan mengalami keterasingan
ketika ia tidak memahami betul tentang apa yang ada disekitarnya. Antara tidak
pernah mengetahui atau mungkin tidak menyadari keduanya menjadi aspek utama
dalam hal keterasingan.
Keterasingan juga
dapat diartikan sebagai sesuatu yang terpisah atau terpencil. Artinya sesuatu
tersebut telah berjarak dengan sesuatu yang lain atau sesuatu yang berjarak
dari keramaian. Terdapat banyak makna dalam kata Asing itu sendiri yang mana
dalam bahasa Indonesia lebih populer dengan sebutan untuk sesuatu yang aneh.
Pembahasan Alienasi
pernah dibahas dalam perspektif Marx dengan mengambil dasar dari konsep ekonomi
dimana ia menjelaskan dari kelas masyarakat proletar yang bekerja bukan untuk
dirinya sendiri. Dari premis ini muncul tokoh Filsafat bernama Erich Fromm yang
mendeteksi terdapat suatu konsep manusia yang berusaha dijelaskan oleh Marx.
Fromm ingin
menjelaskan kembali bahwasannya alienasi manusia dengan pekerjaan yang
dijelaskan oleh Marx dapat diartikan sebagai suatu premis baru dalam
perkembangan humanisme (Fromm, 2019). Dari sini Fromm lebih
mengerucutkan lagi perihal alienasi kepada aspek batin manusia bukan lagi
melihat dari materialistik (Hendrawan, 2018). Terdapat suatu konsep dasar yang
mana dijelaskan lebih lanjut lagi dalam lanjutan penelitiannya mengenai Psikoanalisis.
Penelitian
lanjutannya yang membahas mengenai dua model kecenderungan manusia yakni altruisme
dan egoisme yang mana terangkum dalam bukunya to have or to be yang
artinya “mempunyai atau mengada”. Di buku ini ia menjelaskan tentang dua modus
eksistensi manusia dimana orang dengan modus eksistensi ‘mempunyai’ menurut
penulis memiliki kecenderungan pada alienasi. Fromm berusaha memperlihatkan
beberapa aspek ‘dalam diri manusia’ yang terpancar di setiap perilaku manusia
melalui kegiatan sehari-hari.
Beberapa perilaku di
zaman industri seperti pengunaan bahasa, belajar, mengingat, dan menjalankan
otoritas, ia lihat sebagai perwujudan manusia dengan modus eksistensi
‘mempunyai’. Dengan adanya modus ini penulis mengartikan bahwa manusia telah
memahami suatu proses sebagai benda yang ia miliki.
Apabila manusia
telah berfikir ia memiliki ‘proses’ maka proses tersebut dapat diartikan
sebagai eksistensi lain yang mempengaruhi dirinya. Fromm bermaksud memberikan
pemahaman bahwa manusia yang berproses seharusnya tidak kehilangan dirinya
sendiri sehingga ia berubah menjadi orang lain setelah berproses.
Lebih detailnya lagi
yakni memasuki penjelasan pada cara berbahasa manusia yang menjadi tanda
sebagai alienasi manusia dengan ‘proses’ manusia. Hal ini menyangkut pada penggunaan
kata ‘mempunyai’ yang mengalami pergeseran dimana sebelumnya digunakan untuk
mengucapakan sesuatu yang berhubungan dengan benda menjadi berubah menuju kata
kerja. Menurut pandangannya daripada mengatakan “aku terkena penyakit” lebih
baik mengatakan “Aku sedang sakit” dan “aku punya masalah” lebih baik
mengatakan “aku sedang susah”.
Kata-kata tersebut
seolah menunjukkan bahwa ‘sakit’ dan ‘masalah’ adalah entitas lain. Padahal
seorang manusia yang ‘memiliki’ masalah sebenarnya ia sedang mengalami
kesulitan yang suatu saat akan terselesaikan atau mungkin setidakna terlewati.
Sama halnya dengan ‘terkena’ penyakit atau malah lebih buruknya lagi ‘memiliki’
penyakit (Fromm, 2019).
Selanjutnya dalam
hal belajar, kini di zaman industri belajar bukan digunakan untuk memahami
bagaimana suatu gagasan, ide, atau topik pengetahuan dipahami dan dipikirkan
kembali. Menurut Fromm Sekolah dan lembaga pendidikan lebih menekankan pada
siswa yang mampu mengulangi gagasan atau ide seseorang bahkan mengulangi topik
pengetahuan.
Manusia yang demikan
tidak akan bisa memahami apa topik atau tema yang dipelajari, sehingga ia tidak
menggunakan pikirannya dan pendapatnya sendiri untuk membahas suatu tema.
Kemudian proses
selanjutnya adalah dalam menjalankan otoritas. Dampak dari alienasi dalam
otoritas tidak hanya pada orang yang menjalankan, tetapi hingga pada orang yang
menjadi objek atas otoritas.
Alienasi ini terjadi
karena adanya perubahan model otoritas yang sebelumnya berdasarkan kompetensi
bergeser pada pemolesan-pemolesan terhadap seseorang yang menjalankan otoritas.
Pemolesan ini dapat diterapkan dengan memoles retorika, fisik, bahkan hingga
pakaian. Alienasi yang dialami oleh pelaku otoritas tersebut tentu cukup berat
karena ia tak lagi memiliki kompetensi yang nyata selain polesan-polesan yang
semu. Akibatnya ia dapat kehilangan jati dirinya dan objek otoritas tidak akan
mendapatkan apa-apa bahkan tidak melakukan apa-apa.
Terdapat banyak
perilaku sehari-hari yang ditunjukkan oleh Fromm sebagai suatu perilaku yang
palsu atau dapat mengakibatkan alienasi tersebut. Namun, detailnya analisa
Fromm pada aspek alienasi ini tentu sangat sulit untuk ditempuh manusia.
Praktek-praktek yang selaras dengan maksud Fromm seharusnya diterapkan dengan
jalan sufisme.
Hal ini karena
sebelum manusia menjalani suatu proses seharusnya ia memahami betul bagaimana
jati dirinya. Jika memang dalam hal mencari jati diri dapat dilakukan dengan
suatu proses maka sah-sah saja seseorang tersebut mengalami alienasi terlebih
dahulu sehingga ia akan memahami cocok/tidak cocoknya manusia itu dengan proses
yang sedang dijalaninya.
Dalam konteks yang
lebih luas lagi proses manusia merupakan suatu hal yang memiliki nilai tertentu
bagi manusia itu sendiri. Manusia bisa memahami tentang apa yang ia tempuh atau
mungkin dengan mengambil makna dan kesimpulan dari apa yang ia alami ketika
secara langsung ia mengalami proses tersebut. Maksudnya setelah manusia secara
langsung mengalami proses tersebut ia akan mampu memahami jati dirinya sehingga
dikemudian hari ia tidak akan mengalami alienasi lagi dengan prosesnya.
Namun, jika
penempuhan jati diri dilakukan terlebih dahulu melalui jalan sufisme, tentu
manusia akan jauh lebih mudah menempatkan dirinya dan ia bisa memilih dengan
bebas proses apa yang harus dia alami, sehingga ia sama sekali tidak mengalami alienasi.
Walaupun konotasi bebas seakan mengarah pada semena-mena justru orang yang
menempuh jalan sufisme tersebut ia akan memilih jalan proses dengan cara yang
tidak semena-mena.
Pada dasarnya proses
manusia tidak akan pernah terlepas dari subjek manusia itu sendiri. Walaupun
manusia akan mengalami beberapakali alienasi, ia tidak akan pernah berhenti
untuk mencoba hingga alienasi dalam dirinya dengan prosesnya hilang. Setelah
hilangnya alienasi tersebut akan muncul suatu modus eksistensi manusia yang didambakan
oleh seluruh individu yakni eksistensi ‘mengada’ atau ‘menjadi’.
Hadziq A’la Darajat
Santri Pusat Kajian Filsafat dan Teologi