Al-Ghazali
merupakan intelektual muslim yang hidup di abad 11 masehi. Nama lengkapnya
yakni Abu Hamid Muhammad Ibnu Muhammad Ibnu Muhammad al-Thusi al-Ghazali. Ia
dilahirkan pada tahun 450 H/1058 M di Thus, Khurasan, Iran dan wafat pada tahun
505 H/1111 M di tanah kelahirannya sendiri
(Wijaya, 2017).
Nama Al-Ghazali sendiri merupakan tokoh intelektual muslim
yang cukup terkenal dalam negara Indonesia. Faktor tersebut dipicu tidak lain
dari karya-karya tulisnya yang monumental seperti kitab Ihya’ Ulumuddin yang banyak dikaji dalam lingkungan masyarakat
secara umum.
Namun, apakah Anda pernah
bertanya dalam benak Anda bahwa seperti apa pribadinya dan bagaimana pemikiran
yang dimiliki oleh Al-Ghazali? Pribadinya yang unik dan pola pikirnya yang
otentik menjadikannya sebagai sosok yang senantiasa haus akan kebenaran,
sehingga ia menjadi pribadi yang selalu ingin memuaskan dahaga intelektual dan
spiritualnya (Wijaya, 2017).
Al-Ghazali sendiri pada dasarnya merupakan keturunan dari
sosok keluarga sederhana dan taat dalam beragama. Sejak kecil ia mencari ilmu
pengetahuan dari orang sufi, hal tersebut dikarenakan kehendak ayahnya sendiri
yang mengarahkan pada orang-orang yang berpengaruh di kawasan
Thus. Di kota ini ia belajar dengan Ahmad bin Muhammad al-Radzakani al-Thusi
dan Ali Nashr al-Isma’il (Qoyum, 1993).
Kemudian pada tahun 473 H Al-Ghazali kembali melanjutkan
pendidikannya ke kota Naisabur, Iran. Di kota ini ia mulai mempelajari ilmu kalam, ilmu alam (filsafat alam),
dialektika, filsafat, dan logika. Pengetahuan tersebut ia peroleh dari guru yang bernama imam al-Juwaini. Di kota ini ia juga ikut
mengajar dan menyebarluaskan pengetahuan yang diperoleh dari gurunya kepada
masyarakat sekitar hingga sang guru
menutup usia pada tahun 478 H/ 1085 M (Wijaya,
2017).
Pasca Al-Juwaini wafat, Al-Ghazali menuju kota Mu’askar,
Aljazair. Di kota ini ia mulai mengaktualisasikan ilmu yang dimilikinya sewaktu
belajar di Thus dan Naisabur. Di sini ia juga disambut dengan luar biasa oleh
Nizham al-Mulk yang merupakan wazir (baca: penasihat) dari keluarga Sultan
Saljuq yang menjadi pemerintah daerah tersebut (Wijaya, 2017).
Aktivitas yang ia lakukan di kota ini berdampak pada eksistensi keilmuannya di timur tengah.
Pada fase ini ia menghabiskan waktunya untuk belajar dan menelaah secara
otodidak terkait buku-buku filsafat serta menulis karyanya sendiri pada tentang fikih, ushul fiqih, mantiq, dialektika, filsafat,
serta aliran-aliran pemikiran Islam yang berkembang saat itu (Wijaya, 2017).
Pengalaman belajar Al-Ghazali juga
berefek pada pola pikirnya. Aksin Wijaya
menjelaskan bahwa pemikiran Al-Ghazali merupakan buah dari adanya epistemologi
keraguan yang dimiliki oleh Al-Ghazali sendiri
(Wijaya, 2017). Sedangkan menurut Sulaiman Dunya menilai bahwa Al-Ghazali
menerapkan dua metode epistemologi yakni: pertama,
metode negasi yang bertumpu pada keraguan; kedua,
metode afirmasi yang juga dikenal dengan metode cahaya (Dunya, 1971)
Berdasarkan dua informasi tersebut setidaknya dapat benang merah bahwa Al-Ghazali memiliki bangunan epistemologi
keraguan sendiri. Dalam hal ini ia tampak menghindari taqlid, sehingga benar-benar memfungsikan keraguan miliknya untuk
mampu sampai pada kebenaran yang meyakinkan (Wijaya, 2017).
Di samping itu kebenaran yang meyakinkan ini juga tidak
tiba-tiba hadir dan ada, kebenaran yang dimaksud adalah metode
afirmasi. Kedua metode epistemologi Al-Ghazali yang disampaikan oleh Sulaiman
Dunya ini dapat dipahami bahwa epistemologi Al-Ghazali bersifat
gradual, karena adanya metode afirmasi ini harus melalui metode keraguan
terlebih dahulu (Dunya, 1971).
Berlandaskan analisis tersebut, keraguan milik Al-Ghazali merupakan
gerbang awal yang harus ditapaki terlebih dahulu untuk mengetahui kebenaran. Akan tetapi keraguan di sini juga harus diperjelas lagi dengan
memunculkan pertanyaan 'keraguan yang
seperti apa?’ Bagian ini merupakan bagian signifikan guna mengetahui tentang apa yang diragukan oleh Al-Ghazali.
Keraguan dalam hal ini bukan bernada penolakan, namun
dimaknai sebagai suatu sikap keberhati-hatian dalam proses mengetahui
pengetahuan. Secara sepintas konsep ini hampir sama dengan keraguan yang
dimiliki oleh Rene Descartes, namun Al-Ghazali hidup hingga wafat sebelum Rene
Descartes dilahirkan. Sehingga secara kasar dapat dimunculkan satu dugaan bahwa
keraguan Al-Ghazali berbeda dengan keraguan Rene Descartes.
Jika meninjau ulang tentang metode epistemologi Al-Ghazali
yang bermuara pada pengetahuan yang meyakinkan, maka hal ini menandakan bahwa
ada dua keraguan yang harus dilewati terlebih dahulu. Dua keraguan tersebut
yakni keraguan “ringan” yang berfungsi untuk mengisi pengetahuan dan keraguan
“berat” yang berfungsi untuk mengisi keyakinan.
Ketika Al-Ghazali masih berada pada fase keraguan ringan ia
banyak menulis kritik dan komentar terhadap kelompok pencari
kebenaran, yakni mutakallim, filsuf, ta’limiyah-bathiniyah, dan tasawuf. Tiga yang awal baginya merupakan kelompok pencari kebenaran yang saling
memojokkan satu sama lain serta kerapkali melakukan klaim kebenaran sendiri.
Oleh sebab itu, ia menulis magnum opus-nya
yang berjudul Tahafut al-Falasifah
yang menjadi titik tumpu ktitik dan komentar terhadap semua kelompok pencari
kebenaran (Wijaya, 2017).
Kemudian dalam fase keraguan “berat”, Al-Ghazali memilih
untuk mengakhiri pelabuhan keilmuannya pada kelompok sufi. Pada fase ini ia
mulai menemukan keyakinan bahwa tasawuf mampu mengantarkan individu pada
pengetahuan yang meyakinkan, hal ini dikarenakan sufi merupakan dimensi yang
berposisi satu derajat dibawah nabi (Masduki, 2005).
Di samping itu pada fase ini Al-Ghazali juga menulis solusi
pasca mengkritik kelompok-kelompok sebelumnya, karya tersebut berjudul Ihya’ Ulumuddin (Wijaya, 2017). Kontribusi yang ditorehkan
oleh Al-Ghazali inilah yang kemudian senantiasa dikaji oleh masyarakat,
sehingga ia dikenal sebagai penyelamat karena ia berhasil menyelamatkan
sekelompok muslim yang saat itu yang terjebak dalam komunitas pencari kebenaran palsu.
Hal ini tampak jelas bahwa Al-Ghazali pada dasarnya sangat
menghindari taqlid dan berupaya untuk
menemukan kebenaran sejati. Faktor inilah yang menyebabkan ia bertindak dalam
keberhati-hatian.
Menurut penulis tindakan tersebut merupakan buah dari
keraguan Al-Ghazali tentang kebenaran sewaktu ia belajar. Di sisi lain tindakan
serupa juga mampu menyelamatkan dari kesesatan dan mengantarkan pada kebenaran
yang meyakinkan.
Semoga bermanfaat. Wallahu
A’lam Bishowab
Santri Pusat Kajian Filsafat dan Teologi
Akhmad Rosyi Izzulhaq