Saya
sudah cukup lama kenal dengan Mas Irfan Afifi meskipun hanya via daring,
lewat Facebook terutama. Baru beberapa bulan yang lalu dapat bersua
langsung, kopi darat ketika ia "roadshow" bedah buku Saya,
Jawa dan Islam di Tulungagung.
Dari
situ saya baru ngeh betul, siapa sebenarnya Mas Irfan. Ia tipikal
penulis yang benar-benar “keras kepala.” Dari kisah yang ia sampaikan, saya
bisa menerka-nerka bagaimana pergolakan pemikiran yang ia alami dari yang
tadinya berkutat dengan filsafat karena ia kebetulan belajar di Jurusan
Filsafat UGM, menjadi Jawanisme. Atau kalau boleh saya menyebut ia telah
mengalami lompatan atau pegeseran paradigma (shifting of paradigm) dari
yang tadinya berkacamata orientalis menjadi oksidentalis. Dan buku Senjakala
Modernitas ini merupakan buah dari keintimannya saat ia masih menjalani “laku”
yang pertama itu tadi.
Soal
pergeseran paradigma itu, saya juga mengalami hal serupa ketika sudah cukup
jengah dengan wacana filsafat Barat. Sehingga buku saya yang pertama, Menemukan
Jati Diri: Sebongkah Refleksi Pendidikan Terkini (2017), juga berangkat
dari kegelisahan tentang seperti apa sesungguhnya akar filsafat bangsa
Indonesia. Apakah ia memiliki epistemologi tersendiri atau tidak?
Ndilalah
kersane ngalah, kalau orang Jawa bilang, perjumpaan saya
dengan Mas Irfan, berbuntut panjang sampai dengan saat ini. Saat saya diminta
untuk menjadi pembanding pada acara bedah buku ini yang kalau boleh jujur saya
sempat impikan sejak launching buku ini. Bukan karena saya merasa ahli
filsafat atau pakar tapi lebih kepada ketersambungan rasa sebagai sesama “penikmat”
Habermas. Kebetulan buku yang saya Media Online Radikal dan Matinya
Rasionalitas Komunikatif (2019)—hasil dari adaptasi dari tesis itu—juga
berhutang budi kepada Habermas. Bedanya buku Mas Irfan ini barangkali lebih
fokus pada salah satu karya Habermas Modernity: an Incomplete Project (1980)—sebuah
pidato penghargaan Adorno di Franfurt yang berbentuk semacam pledoi atas
berbagai kritik dari kalangan postmo yang nyinyir dan memandang bahwa
modernitas sudah mati. Sedangkan buku saya meminjam teori Habermas tentang
rasionalitas komunikatif, etika diskursus dan konsep ruang publik-nya sebagai
pisau analisis untuk “membredel” media online radikal.
Sehingga
saya banyak bersinggungan dengan karya-karya Habermas yang lain misal, Between
Naturalism and Religion: Philosophical Essays (2008), The Structural
Transformation of Public Sphere (1961), Moralbewuβtsein und
kommunikatives Handel (Kesadaran Moral dan Tindakan Komunikatif) (1983) dan
Erläuterungen zur Diskursethik (Penjelasan tentang Etika Diskursus)
(1991) dan pidato sambutan dalam pengukuhan Guru Besarnya yang terkenal, Knowledge
and Human Interest (1975). Dari sinilah ia kemudian didapuk sebagai
profesor menggantikan seniornya: Horkheimer.
Kiprah
intelektual Habermas mulai moncer semenjak ia gabung dengan Sekolah Frankfurt
di bawah bimbingan para seniornya: Adorno, Max Horkheimer dan Herbert Marcuse.
Di sana Habermas muda menjadi asisten dua tokoh tersebut dan mendapatkan
pendasaran penting tentang mazhab kritis. Ada dua buku fenomenal yang sejak
mahasiswa mempengaruhi pemikiran Habermas. Pertama buku Dialektika
Aufklarung karya Adorno dan Max Horkheimer dan History and Class
Conciousness karya George Lucacs.
Membaca
Habermas sebetulnya kurang lengkap tanpa kita tahu epistemologi pemikirannya
sejak dari Kant. Karena ia berhutang banyak dari Kant mulai dari konsepsi
Pencerahan (Aufklarung), modernitas, rasionalitas, dan emansipasi. Kalau
meminjam istilah Fayyadl dalam kata pengantar, Pencerahan berkontinuitas pada
modernitas yang mengandung rasionalitas sebagai substansinya, dan melalui
modernitas yang dipahami sebagai rasionalisasi terjadi emansipasi dan otonomi
subyek (h. 24). Bahkan kalau meminjam istilah Franz Magnis Suseno, Habermas
adalah Kantian murni sampai dengan tulang sumsumnya.
Pun
dalam hal ini, Habermas telah merevisi konsepsi Kant tentang subyek dan
menggantinya dengan rasionalitas komunikatif sebagai sarana emansipasi karena
emansipasi hanya bisa terjadi melaui intersubyektif yang dibingkai dalam
diskursus. Kenapa modernitas? Apa bedanya modernitas, dengan modernisasi dan
modernisme?
Tidak
hanya itu, Habermas juga banyak berhutang budi dengan tokoh-tokoh baik kawan
maupun lawannya: idealisme Fichte dan Hegel, materialisme Marx, psikoanalisis
Freud, linguistic-analysis dari Wittgenstein, Searle dan Austin,
rasionalisasi Weber dan lain-lain.
Perdebatan tentang modern vs post-modern atau
post-struktural memang bukan hal yang baru. Setidaknya hal itu dimulai sejak
Lyotard menerbitkan buku bertajuk, The Postmodern Conditions (1979) yang
isinya mengkritik proyek konsensus universal yang dituding sebagai lanjutkan
misi Aufklarung. Apakah kata post dalam istilah tersebut merupakan
kritik terhadap modern, modernitas atau modernisme? Kenapa kata “post” diikuti
dengan kata modernisme bukan modernitas? Atau malah jangan-jangan post-modern
itu justru anak kandung dari modernitas yang belum selesai?
Baik
Habermas maupun para tokoh posmodern sesungguhnya sama-sama sedang merayakan
kematian subyek. Bedanya tipis sekali, Habermas dengan intersubyektivitas
sedangkan kaum posmo dengan kematian subyek atau logosentrisme. Meski dalam
perspektif yang lain, keduanya lagi-lagi juga tetap terjebak pada metafisika
karena menjadikan “kematian subyek” atau “intersubyektivitas” sebagai kiblat
sama halnya dengan tetap terkungkung pada metafisika itu sendiri. Lagipula
sejarah filsafat modern juga sejarah metafisika, sejak Descartes dengan “cogito”-nya,
Kant dengan “transendentalisme”-nya, Hegel dengan “Roh Absolut”-nya, Heidegger
dengan “Yang Ada” (Being) dan seterusnya.
Habermas
ingin mempertahankan isi normatif dari modernitas: rasionalitas budaya,
masyarakat dan individu dengan rasionalitas komunikatif. Bagi Habermas, kalau
rasionalisasi berjalan sesuai isi normatifnya, modernisasi akan menjamin
integrasi kebudayaan dan masyarakat. Sedangkan kapitalismelah yang membuat
modernitas berciri patologis karena terjadi erosi makna dan alienasi. Meski
terdengar agak utopis, namun proyek besar Habermas, meminjam istilah dalam
epilog—sebagai “nabi rasionalis” terakhir—sesungguhnya ingin melengkapi bagian
rumpang yang telah dilakukan oleh para pendahulunya terutama dari kalangan
mazhab Frankfurt generasi awal yang lagi-lagi masih terjebak pada “herosime” antropologi
filsafat buruh Marx dan mengubahnya menjadi filsafat bahasa atau komunikasi. Dengan
berpedoman pada normativitas tersebut, ia memimpikan akan tercipta masyarakat
komunikatif; masyarakat yang memegang teguh etika diskursus dalam konteks ruang
publik yang bebas dominasi atau intervensi. Atau sebuah komunikasi yang tidak
terdistorsi.
Saya
pikir lahirnya buku Mas Irfan ini betapapun terdapat rumpang, pada akhirnya
tetap layak untuk diapresisasi. Karena menulis buku wacana semacam ini merupakan
keberanian tersendiri di tengah arus semakin terpinggirkannya buku-buku wacana
(Kiri) di kalangan akademisi, terutama mahasiswa. Sebab kalah dengan buku-buku
mata kuliah yang bersifat how to, atau buku-buku motivasi yang
seringkali klise dan cenderung dipaksakan itu. []
Penanggung
Jawab PKFT Tulungagung
Saiful
Mustofa