Diksi
libertarianisme atau liberalisme yang berkembang dalam masyarakat cenderung
memiliki perspektif yang buruk. Bahkan seorang libertarian akan dipandang
sebelah mata yang sebenarnya mereka hanya sedang menggaungkan nilai-nilai yang
agresif dan semangat positif. Tapi ternyata mereka justru dianggap sebagai
sosok yang identik dengan sifat egoisme, mendukung kapitalisme, serta merugikan
norma dan adat di masyarakat.
Nyatanya,
jika kita bisa menilik lebih jauh apa itu liberalisme dan bagaimana isi dari
alam pikiran seorang libertarian lebih dalam, maka kita akan beranggapan bahwa
bebas yang mereka maksud bukan sebagai buah dari adanya egoisme semata. Melainkan
mereka sedang menggaungkan kebebasan karena sadar bahwa arti kebebasan itu
sendiri meyakini bahwa hak yang kita miliki akan berbatasan dengan hak milik
orang lain.
Untuk
itu, untuk menyingkap perspektif negatif mengenai liberalisme atau paham
kebebasan ini, perlu diadakannya penyuaraan ide-ide kebebasan, orasi, maupun
presentasi mengenai isu-isu yang aktual dan hangat sebagai bahan edukasi yang
bisa memberikan pemahaman yang benar kepada seluruh lapisan masyarakat.
Bukankah
hal yang jenaka ketika kebebasan dan hak asasi menjadi sebuah perdebatan,
ketika kebebasan itu sendiri merupakan suatu hal yang dilindungi dalam
konstitusi. Seperti yang termakatub dalam Undang-Undang Dasar pada Pasal 28
dimana dalam pasal tersebut berisi mengenai hak setiap warga negara yaitu “Kemerdekaan
berserikat dan berkumpul mengeluarkan pikiran dan tulisan, dan sebagainya
ditetapkan dengan undang-undang.”
Sehingga
ketika hak kita mulai diakusisi bahkan hak kita bisa digantikan dengan hak
orang lain, hal tersebut sudah merupakan sebuah pelanggaran hak bahkan
merupakan sebuah bentuk ketidakadilan. Hak yang digaungkan dan dijaga oleh
konstitusi bisa saja hanya menjadi peraturan tanpa adanya impelementasi.
Berbicara
mengenai hak dan kebebasan. Kita bisa mengambil contoh dari kehidupan
pemerintahan yang paling dekat yaitu organisasi yang ada di dalam kampus.
Kampus sendiri selain menjadi tempat yang akrab dengan kehidupan akademisnya,
bagi mereka yang berkecimpung dengan dunia organisasi, mereka akan juga
merasakan suasana politik yang ada di dalam kampus. Apalagi mendekati akhir
tahun akan menjadi ajang pesta demokrasi bagi para mahasiswa untuk menentukan
siapa yang akan menjadi penerus estafet kepemimpinan untuk satu tahun ke depan.
Kampus sering
digadang-gadang sebagai miniatur pemerintahan karena memiliki struktur yang
mirip dengan pemerintahan negara. Meskipun ternyata penerapannya belum secara
mutlak. Teori trias politica yang dianut oleh negara, tidak sepenuhnya
diterapkan karena mayoritas kampus belum memiliki lembaga yudikatifnya sendiri.
Berbicara
mengenai miniatur negara, dalam tradisi tahunan kegiatan PEMIRA (Pemilihan
Raya) yang rutin dilakukan, tentu menjadi peristiwa yang tidak kalah hangatnya
dengan pesta demokrasi yang dilakukan oleh negara ini. Bahkan kegiatan PEMIRA tersebut
menjadi salah satu kalenderisasi peristiwa penting bagi mereka yang ingin
melenggangkan sayapnya untuk terjun dalam dunia politik.
Segala
serba-serbi perisitiwa yang mewarnai dalam suasana politik negara juga tidak
kalah terealisasi dalam kegiatan PEMIRA ini. Mulai dengan melakukan konsolidasi
warung kopi hingga melakukan kegiatan kampanye untuk menunjukkan eksistensi.
Hal
tersebut bukanlah hal yang keliru bahkan dibenarkan dalam kegiatan politik. Namun
hal yang harus diwaspadai adalah adanya kegiatan curang dalam kegiatan politik
tersebut. Sering terdengar kabar bahwa seseorang tidak segan-segan untuk
mencapai sebuah posisi yang diinginkan, kerap kali menjadikan orang lain
sebagai batu loncatan. Padahal jika hal yang demikian dilakukan, hal tersebut
sudah menjadi sebuah kasus pelanggaran hak dan kebebasan seseorang karena
menjadikan manusia semata-mata hanya sebagai alat.
Jika
kita menilik kembali gagasan kebebasan dan esensi hak asasi manusia yang digaungkan
oleh salah satu tokoh filsuf kontemporer yaitu Robert Nozick bahwa sebagai individu
yang berbeda dengan hidup kita sendiri, tidak ada yang secara alami dapat
memiliki klaim atas kehidupan orang lain. Individu tidak boleh dianggap sebagai
alat untuk mencapai tujuan orang lain, mereka adalah tujuan dalam diri mereka
sendiri
Menyoroti
kutipan yang dikemukakan oleh Nozick tersebut tersirat bahwa politik tidak
lebih penting dari kemanusian. Politik yang yang menjadikan manusia hanya
semata-mata sebagai alat untuk mencapai tujuan manusia lain tidak akan menjadi
pemerintahan yang dapat dijadikan acuan apalagi menjadi representasi
pemerintahan yang ideal.
Demokrasi
yang LUBER JURDIL (Langsung, Umum, Bebas, Rahasia, Jujur dan Adil) tidak akan
memaksa seseorang harus bertindak atau memilih yang mana. Karena mereka
memiliki suara kebebasannya sendiri. Bahkan mereka berhak pula menyuarakan
pendapat dan keresahannya sebagai sebuah tindakan kritis-evaluatif agar
pemerintahan ideal yang mereka dambakan tidak hanya menjadi sebuah dambaan
imajinatif belaka.
Pemerintahan
yang ideal juga akan mendemonstrasikan sebuah keberagaman dan pluralitas,
dimana pluralitas yang mendalam menurut Nozick merupakan sebuah ciri
kemanusiaan. Tidak ada dasar yang kuat untuk memilih satu pengaturan sosial dan
menganggap bahwa itu akan ideal untuk semua. Setiap orang memiliki prioritas
dan kebebasannya sendiri. Sehingga segala bentuk pemaksaan yang membatasi
kebebasan setiap insan merupakan bentuk pelanggaran terhadap kemanusiaan.
Solusi
menghadapi segala bentuk isu mengenai kebebasan dalam pluralisme ini, maka
seorang Nozick beranggapan bahwa dengan kecondongan manusia terhadap suatu hal yang
beragam baik mengenai aspirasi, banyaknya keinginan, dan dorongan hati, maka
solusi yang tepat adalah tidak menganggap bahwa ada “satu cara terbaik bagi
semua”, melainkan dibutuhkan pola yang ideal dan tepat bagi semua lapisan
masyarakat yang dapat dicapai dengan kerangka kerja yang tepat dan terencana.
Menggaungkan
gagasan kebebasan oleh Nozick ini juga merupakan sebuah bentuk menghargai perjuangan
para mahasiswa dan masyarakat sipil dalam memperjuangkan kebesan dan hak pada
peristiwa sejarah reformasi 1998. Tentu bukan harapan semua orang bahwa
masa-masa kelam otoritarianisme orde baru kembali bergejolak dan kembali eksis
setelah harapan reformasi masih bisa dihirup hingga saat ini. Hal ini sejalan
dengan klaim yang dipaparkan oleh Nozick bahwa kebebasan merupakan hal yang
harus dipejuangkan karena “Individu memiliki hak dan tidak ada yang boleh
dilakukan oleh orang atau kelompok mana pun terhadap hak mereka (tanpa adanya pelanggaran
hak)”.
Meilia
Wulandari
Simpatisan
Pusat Kajian Filsafat dan Teologi