Sejak peradaban berkembang sampai saat ini. Tidak bisa dipungkiri
manusia sudah mengenal yang namannya kekuasaan dari masa kemasa. Seperti halnya
pada era manusia purba yang mana pada banyak buku yang membahas mengenai hal
tersebut itu dijelaskan bahwa manusia sudah mengenal yang namanya kekuasaan.
Hal ini dikarenakan bahwa manusia purba saat mencari kebutuhan hidup rela
memperebutkan kekuasaan.
Namun ketika kita berkaca pada hari ini. Kekuasaan
di negara sudah menjadi tradisi dalam mengenai sistem kepemimpinan disuatu
negara. Mereka yang sudah menguasai kepemerintahan, bila kita lihat kondisi
saat ini dan menggali ulang kejadian saat manuisa purba hidup. Tanpa kita
sadari kejadian tersebut hampir sama. Pengetahuan yang merupakan sumber primer
manusia dalam mengadaptasi dan membentuk suatu pola gagasan, terkadang disalah
gunakan untuk hegemoni masa dan berujung populisme, hal ini sudah dibahas oleh
Michael Foucault, dari kritiknya akan kekuasaan dan pengetahuan.
Menurut Foucault dalam bukunya “Power/Knowledge”,
bahwa power atau kekuasaan merupakan suatu mekanisme yamg menciptakan
rasionalitas hukum dan pengetahuan sebagai alat untuk menegakan kekuasaan yang
lebih luas (Bahason dan Kotarumalos, 2014). Kekuasaan dan Pengetahuan mempunyai
keterkaitan atau hubungan timbal balik. Kekuasan dapat menjadi alat pembenaran
bagi hukum dan pengetahuan, begitu sebaliknya dengan pengetahuan maka kekuasaan
bisa didapatkan.
Tetapi banyak orang yang ingin mendapatkan
kekuasaan dengan cara yang salah seperti jual beli suara, penguasaan KPU, dan
cara yang salah lainnya. Kekuasaan yang dipahami banyak orang selama ini adalah
kemampuan mempengaruhi orang lain sehingga orang-orang dapat melakukan sesuai
dengan kehendak orang yang mempengaruhi, banyak orang yang memahami kekuasaan itu
bersifat memaksa dan mengandung kekerasan. Sedangkan menurut Foucault kekuasaan
sendiri dapat dipahami sebagai hubungan yang rasional, produktif, positif,
diskurtif. Kekuasaan sendiri tidak dipahami sebagai kepemilikan seperti
properti, pendapatan, atau hak istimewa yang dapat dimiliki oleh sebagian kecil
kelompok didalam masyarakat (Kamahi, 2017). Kekuasaan sendiri menyebar dalam
hubungan-hubungan masyarakat tidak terpusat pada pada satu orang atau lembaga
(Aidin, 2016). Sehingga kekuasaan dapat dipandang secara positif.
Sama seperti Nietzsche Foucault memandang kekuasan
dan pengetahuan sendiri seperti dua sisi uang logam yang tidak dapat
terpisahkan, seperti dua muka dari selembar kertas, tak terpisahkan satu sama
lain. Sehingga setiap kekuasaan dapat mempengaruhi pembentukan pengetahuan, dan
sebaliknya setiap pembentukan pengetahuan maka secara langsung dapat membentuk
kekuasaan. Ditatanan masyarakat modern, dimana ada berlangsungnya sebuah
kekuasaan, maka tempat tersebut juga menjadi tempat modern.
Kekuasaan akan menghasilkan kebenarannya sendiri,
dan mulai menerapkannya kepada orang lain untuk mengikuti kebenaran tersebut.
Sehingga kekuasaan akan menghasilkan rezim kebenaran yang disebarluaskan oleh
wacana dan dibentuk oleh kekuasaan yang sedang berlangsung. Itu juga terlibat
dengan media yang beropini dipihak yang mungkin menguntungkan mereka. Oposisi
adalah keniscayaan dalam kekuasaan, tanpa oposisi, kekuasaan akan melanggengkan
kuasanya, karena manusia adalah “homo homini lupus”, serigala pemakan serigala
lainnya.
Pada dasarnya pimpinan tidaklah terlalu
fundamental, hanya sekedar simbolik, yang penting adalah kebijakanya untuk
orang lain. Dan pemberdayagunaan masyarakatnya, bukan mencari popularitas, atau
korup, atau bahkan ia hanya “boneka” yang dikendalikan sekelompoknya, padahal
ia harus adil kepada seluruh element yang ia pimpin. Oleh karena itu pemimpin
sendiri mempengaruhi suatu kebenaran tersebut. Maka dari itu kebenaran itu
proporsional, selayaknya jika pemimpin tidak lagi berjalan di jalan kebenaran,
seharusnya kita juga mengingatkan, entah memakai cara apapun itu setidaknya
dengan jalan yang baik.
Tujuan dari pemikiran Foucault tentang kuasa dan
pengetahuan sendiri adalah agar individu dapat berkembang secara mandiri dan
menemukan bentuknya sendiri sesuai dengan apa yang dikehendakinya. Jika
individu tersebut bisa mengatur dirinya dengan, maka individu tersebut juga
dapat mengatur orang lain dengan baik dan benar. Sehingga kekuasaan bukanlah
sesuatu yang hanya dimiliki sekelompok orang atau negara, tetapi kekuasaan
tersebut ada dimana-mana dan berada pada siapa pun yang terjadi karena relasi
antar manusia.
M. Nur Safi’i
Pusat Kajian Filsafat dan Teologi