Dewasa ini kita mungkin dibuat geram dengan menguatnya fenomena
ketidakbebasan dan ketiadaan toleransi yang ada pada wajah politik hari ini.
Pergeseran demokrasi ke arah liberal menjadi lahan subur bagi terciptanya
kondisi ketidaksetaraan dan membawanya pada kondisi irrasional dalam demokrasi dengan dalih
politik konsensus (kesepakatan).
Wolff (2013) menjelaskan bahwa demokrasi pada hakikatnya memberikan
kesetaraan (equality), kebebasan berorganisasi, berpendapat dan
berekspresi yang inheren dalam demokrasi. Akan tetapi, hari ini dapat kita
lihat demokrasi sebagai suatu omong kosong belaka.
Pada ranah pergutuan tinggi misalnya, PEMIRA (Pemilihan Umum Raya) seharusnya menjadi forum demokrasi tertinggi. Namun hal ini biasanya dicederai dengan oleh pasangan calon yang tidak memenuhi persyaratan bahkan tidak kompeten, KPU (Komisi Pemilihan Umum) yang tidak adil dalam menjalankan tugas seperti kata Josef Stalin, tidak adanya toleransi terhadap pluralisme serta berbagai fenomena buruk lainnya yang menunjukkan kondisi irasional dalam demokrasi yang disandarkan pada dalih politik konsensus.
Zakaria (2005) menunjukkan bahwa fenomena-fenomena tersebut
merupakan gambaran ‘demokrasi yang tidak bebas’, yaitu demokrasi hanya sekadar
menjalankan pemilu (voting). Padahal yang terjadi bukanlah ‘demokrasi yang tidak
bebas’, melainkan paradoks dari kebobrokan yang dibangun dengan dalih demokrasi
itu sendiri.
Bobroknya demokrasi pada saat ini mengingatkan penulis pada salah satu
filsuf perempuan, yakni Chantal Mouffe. Guna menjawab sekaligus melampaui
paradoks demokrasi tersebut, Chantal Mouffe menyodorkan konsep demokrasi
radikal.
Demokrasi radikal adalah upaya meradikalisasi demokrasi dengan
menuntut adanya konflik, perselisihan yang terus-menerus serta perdebatan
ideologi dan gagasan untuk menangkap wacana. Dalam arti tertentu, demokrasi
radikal menjadi wilayah perjuangan (kontestasi) hegemonik.
Dalam ranah demokrasi radikal, segala bentuk gagasan dan ideologi
saling bersaing menggunakan artikulasi politiknya masing-masing dimana ide diproduksi
secara terus-menerus. Partisipasi adalah salah satu hal terpenting dalam
demokrasi radikal. Dengan kata lain, demokrasi radikal membutuhkan “kebisingan”
dan “keriuhan” untuk mengangkat tabir stabilitas demi terwujudnya politik
emansipatoris.
Membicarakan terkait politik konsensus, Mouffe menyatakan bahwa
tidak ada konsensus dalam demokrasi, yang ada hanyalah praktik hegemonik yang
bersifat rentan dan terbuka untuk dilawan melalui praktik kontra-hegemonik. Pertanyaannya
adalah bagaimana dengan ‘kesepakatan’ atau keputusan mayoritas di parlemen dan
pemilihan umum yang merupakan hasil voting?
Mengutip dari Elias Canetti, Mouffe menyatakan secara tegas bahwa
kemenangan dalam pemilihan umum atau voting di parlemen bukanlah konsensus (tanda
setuju kepada keputusan mayoritas). Melainkan semata-mata hanya pengakuan
oposisi atas kekalahannya sehingga oposisi senantiasa melakukan praktek
kontra-hegemonik melalui diskursus untuk melawan existing hegemonik
(Mouffe, 2005).
Seperti dibahas sebelumnya, demokrasi
radikal menjadi arena konflik dan kontestasi wacana untuk memperebutkan
hegemoni di ruang publik. Konflik dan kontestasi tersebut dipahami dalam
konteks yang positif, yakni meradikalkan demokrasi (bukan saling meniadakan,
membungkam dan memberangus satu sama lain).
Persoalannya adalah bagaimana jika praktek
konflik dan kontestasi tersebut menyisakan luka di tengah masyarakat seperti provokasi
fisik, kekerasan, bahkan peperangan? Pada konteks ini, perlu adanya pembedaan
antara relasi antagonisme dan agonisme serta melakukan transformasi dari relasi
antagonisme ke relasi agonisme.
Relasi antagonisme sebagai dimensi
konfliktual dalam konteks ‘yang-politis’ memicu relasi antara kita sebagai ‘teman’
dan mereka sebagai ‘musuh’ (antagonistic friend or enemy relation) dalam
politik demokrasi. Relasi ini terbuka lebar akan implikasi ketidaksepakatan
(disensus) berupa provokasi fisik, kekerasan bahkan peniadaan eksistensi
yang-lain yang berbeda sebagai konsekuensi dari dikotomi antara teman dan musuh
yang tidak saling berbagi ruang demokrasi.
Dalam konteks ini, musuh (enemy)
dimaknai sebagai entitas yang harus dihancurkan dan ditiadakan baik secara
ideologi (wacana) maupun eksistensinya di ruang publik demokrasi. Relasi
antagonistik antara teman dan musuh inilah yang harus ditanggulangi
keberadaanya supaya konflik dan disensus tidak bersifat merusak.
Sudah menjadi tugas dari demokrasi radikal melakukan
transformasi dari relasi antagonisme ke relasi agonisme. Relasi agonisme tidak
berpretensi untuk menghapuskan dimensi konflik pada satu sisi dan tidak
terjebak pada negosiasi atau kesepakatan (konsensus) melalui deliberasi. Dengan
kata lain, relasi agonisme membuat konflik tidak merusak asosiasi politik dalam
demokrasi.
Dari relasi agonisme, relasi antara kita
sebagai teman dan mereka sebagai musuh ke relasi adversarial yang menganggap
mereka sebagai ‘lawan’ (adversary), agonistic friend or adversary
relation. Mouffe menggunakan kata ‘adversary’ untuk merujuk pada
oposisi yang memiliki kesamaan posisi dalam demokrasi tetapi terdapat perbedaan
wacana, kepentingan dan gagasannya yang berbeda dan harus ditolak.
Proyek pemikiran Mouffe terkait demokrasi
radikal merupakan upaya membangkitkan kembali politik kiri. Oleh karena itu,
dalam demokrasi radikal senantiasa tersirat misi emansipasi dan dimensi
sosialisme dalam menegakkan perjuangan demokratik.
Usaha bersama (aspirasi, tujuan dan
cita-cita) untuk emansipasi merupakan hal pokok dalam demokrasi radikal. Mouffe
dan Ernesto Laclau dalam bukunya yang berjudul ‘Hegemony and Socialist
Startegy: Toward a Radical Democratic Politic’ secara tegas menjelaskan
bahwa Setiap proyek untuk demokrasi radikal menyiratkan dimensi sosialis,
karena itu perlu mengakhiri relasi produksi kapitalis, yang merupakan akar dari
banyaknya relasi subordinasi (Laclau & Mouffe, 2008).
Penulis menafsiri bahwa kapitalisme dalam
ranah politik bisa diartikan menjadikan manusia atau setiap individu sebagai
suatu komoditas. Dalam artian, yang dapat dipetik dari setiap individu tersebut
adalah hak suara yang dapat digunakan untuk melegitimasikan kekuasaan.
Berangkat dari hal tersebut, dapat kita
ketahui bahwa demokrasi hanya sebatas pada pemilihan umum saja. Terlepas dari
hal tersebut, kepemimpinan atau pemerintahan hanya menjadi sarana untuk
mencapai kesepakatan yang menguntungkan golongannya saja (tidak memikirkan
kepentingan masyarakat).
Oleh karena itu, kita perlu memanifestasikan
pemikiran Chantal Mouffe terkait demokrasi radikal sebagai upaya untuk
menyudahi kebobrokan yang selama ini hinggap pada demokrasi. Sudah sepatutnya
demokrasi membawa misi emansipasi bagi masyarakat, bukannya justru membuat
masyarakat semakin terpuruk akibat politik yang disandarkan pada hasil
kesepakatan golongan.
Akhmad Nur Khoiri
Santri Pusat Kajian Filsafat dan Teologi