Pada
hakikatnya manusia dilahirkan dengan kondisi yang sama, hingga pada akhirnya
perbedaan latar belakang (faktor ekonomi khususnya) menimbulkan perbedaan bagi
kehidupan manusia. Perbedaan latar belakang manusia menjadi motif kuat dalam
timbulnya berbagai tindakan kriminal di kehidupan masyarakat.
Berlandaskan pada situasi yang dialami masyarakat, keadilan menjadi suatu konsep yang didambakan oleh masyarakat yang termarjinalkan. Keadilan sendiri menjadi suatu situasi utopis untuk direalisasikan, bahkan tokoh revolusioner seperti Karl Marx mengalami kesulitan dalam merealisasikan teorinya. Namun apa jadinya ketika seorang pemuda memiliki kekuatan supranatural untuk membasmi kejahatan di muka bumi? Apakah keadilan berhasil ditegakkan atau justru menimbulkan kejahatan baru dalam bentuk lain?
‘Death
Note’ merupakan serial anime yang disutradarai oleh Tetsurō Araki dimana serial
anime ini diadopsi dari manga berjudul ‘Desu Nōto’. Death Note bercerita
tentang kisah seorang siswa sekolah menengah atas di Jepang bernama Light
Yagami, yang menemukan buku death note milik shinigami (dewa kematian dalam
cerita rakyat Jepang) bernama Ryuk.
Light
merasa dunia telah busuk karena dipenuhi oleh orang-orang yang tidak berguna
(penjahat), sehingga Light berambisi untuk membuat dunia menjadi tempat yang
lebih baik. Cahaya membunuh penjahat yang dimiliki oleh Light membuatnya
menjuluki dirinya sendiri dengan sebutan KIRA sebagai nama samaran.
Buku
death note menjadi senjata utama yang dimiliki oleh Light dalam membunuh
penjahat dengan cara menuliskan nama penjahat tersebut dalam buku death note.
Akan tetapi seiring berjalannya waktu Light semakin tidak terkendali dan
membunuh siapa saja yang dianggap menghalangi tujuannya dalam menciptakan dunia
yang ideal.
Semakin
dia menggunakan Death Note, Light menjadi semakin kejam dan bengkok, hingga
pada titik dimana dia tidak hanya tidak memiliki empati, kasih sayang, atau
cinta untuk orang lain. Light juga mengembangkan sisi manipulatif yang
mengerikan, bahkan mencapai tingkat penggunaannya, keluarga dan orang-orang
yang terkait dengannya untuk mencapai tujuannya dalam apa yang dia yakini
adalah hal yang benar untuk dilakukan, untuk membersihkan dunia dari semua
kejahatan, tidak peduli seberapa mengerikan perbuatannya.
Pola
membangun keadilan yang diterapkan oleh Light menimbulkan bentuk kejahatan baru
sehingga mengundang perhatian dari detektif ternama yang dijuluki L. Sepanjang
seri, Light terus-menerus berusaha menghindari kecurigaan L dan detektif
lainnya sambil mempertahankan identitasnya sebagai "Kira" dan
membersihkan dunia kejahatan.
Fakta
bahwa Light menganggap dirinya sebagai Tuhan dan pengetahuannya tentang hukum
juga berkontribusi pada gagasannya yang menyesatkan dimana muncul anggapan
bahwa Light sendiri yang paling cocok untuk menghakimi umat manusia dan
mengarahkan jalan moral yang benar yang ada di dalam dirinya. Pemikiran dan
perilaku Light menunjukkan bahwa dirinya memiliki tingkat arogansi dan
narsistik yang tinggi.
Dalam
psikoanalisis, Sigmund Freud menjelaskan bahwa ego berfungsi sebagai eksekutif.
Dalam memenuhi fungsi eksekutifnya, ego berusaha mengintegrasikan
tuntutan-tuntutan yang saling bertentangan dari id, superego, dan dunia luar.
Ego adalah bagian terorganisir dari id yang ada untuk memajukan tujuan id
(Freud, 1954: 66).
Ego
dengan bantuan super ego (gabungan beberapa norma yang diambil dari lingkungan
sosial) berupaya untuk menjaga dan memelihara Id (dorongan alam bawah sadar)
untuk menahan hasratnya. Hal ini tercermin ketika Light berupaya untuk menahan
dirinya untuk menuliskan nama penjahat dalam buku death note ketika dia sedang
dicurigai oleh L dan detektif lainnya.
Di
sisi lain Jacques Lacan menjelaskan secara radikal bahwa hasrat tidak lagi
perlu ditekan. Hasrat tersebut harus disalurkan melalui berbagai hal simbolik
seperti bahasa, gesture tubuh atau ekspresi lainnya. Pemikiran Lacan ini dapat
dilihat ketika Light mulai mengekspresikan hasratnya yang terlihat secara jelas
ketika Light memaparkan strateginya pada Ryuk.
Selanjutnya,
Lacan mengungkapkan bahwa fantasi hadir sebagai penjaga minat yang dimiliki
subjek. Lacan menyebut ‘phalus’ sebagai suatu entitas yang lengkap, serba
terpenuhi, atau pusat dari segala sesuatu. Kondisi yang dimaksudkan oleh Lacan
ini digambarkan pada scene serial Death Note ketika Light beranggapan
(berfantasi) bahwa dirinya telah menjadi Tuhan baru bagi dunia yang ideal.
Teori
psikoanalitik menunjukkan bahwa orang-orang narsis sejak masa kanak-kanak,
dimana diri seperti itu belum terbentuk dan karena itu libido terfokus pada
diri sendiri, libido ini dialihkan ke objek eksternal setelah dipahami bahwa
dia bukan pusat alam semesta, dia adalah individu seperti orang lain. Kemudian
individu menerima kekurangannya, dan mulai mencari jati diri. Maka tidak heran
bahwa L menyebut KIRA (Light Yagami) masih bersifat kekanak-kanakan.
Pada
perkembangan (psikoanalisis) terakhir, pemikiran Gilles Deleuze dan Felix
Guattari yang lebih akrab disebut sebagai “skizoanalisis” menjadi puncak bagi
tokoh Arthur. Skizoanalisis ini mengamini pembebasan hasrat dan membiarkan
subjek untuk larut dan menikmati kegilaannya secara total dan bebas.
Skizoanalisis ini nampak jelas ketika Light Yagami secara terang-terangan
membunuh penjahat dan menentang L serta detektif lainnya.
Dengan
demikian, kita dapat melihat perkembangan psikoanalisis yang diungkapkan oleh
Light Yagami melalui serial ‘Death Note’ ini. Dan pada akhirnya film yang cukup
mengguncang psikologis penonton ini akan menimbulkan dua hal, yakni rasa benci
atau respek pada sosok Light Yagami. Bagi penulis serial ini layak dijadikan
referensi dalam melihat studi kasus pada masalah-masalah psikoanalisis yang
tentu saja renyah bagi pemula.
Judul : Death Note
Sutradara : Tetsurō Araki
Tahun : 2006
Episode : 37 episode
Santri Pusat Kajian Filsafat dan Teologi