Kontruks sosial
yang menyudutkan dan membatasi gerak perempuan merupakan salah satu alasan munculnya gerakan feminisme di Indonesia. Selain
itu, pemberian jenis kelamin pada warna hingga klasifikasi kelas dalam suatu
pekerjaan benar-benar membelenggu perempuan.
Gerakan feminisme sejatinya bukanlah
gerakan untuk menjungkir balikkan laki-laki, tetapi
merupakan gerakan perlawanan terhadap sistem yang tidak adil dari sistem
patriarki. Feminisme di Indonesia sendiri sudah mulai terdengar pada
tahun 1960-an,
kemudian menjadi isu dalam pembangunan baru sekitar 1970-an.
R.A Kartini
dijadikan sebagai tokoh feminisme di Indonesia dalam wajah
perjuangan bagi keadilan kaum perempuan. Keberaniannya
dalam melawan sistem yang dibangun kolonial yang begitu patriarki.
Dalam Biografi “Panggil aku Kartini
saja “ karya Pramoedya Ananta Toer menampilkan perjuangan Kartini sebagai
seorang perempuan yang hidup ditengah masyarakat dan kebudayaan jawa yang harus
menghadapi kerasnya kehidupan. Kartini dalam biografi
ini digambarkan dengan sosok perempuan dengan semangat tinggi. Ia
memiliki prinsip besar dalam memperjuangkan sejarah modern Indonesia.
Kartini dituliskan sebagai tokoh perempuan dengan
tekad kuat. Namun dibalik itu, Kartini juga mendapatkan ketidakadilan,
ketidakadilan pertama dalam biografi tersebut bisa disoroti
pada bagian masa sekolah Kartini.
Pram menuliskan
secara gamblang situasi yang tidak memperbolehkan perempuan untuk mengenyam
pendidikan di masa kolonial. Bahkan dalam bukunya, Pram menuliskan bahwa anak
perempuan (gadis) tidak diperbolehkan untuk keluar rumah.
Dengan ini,
dapat dipahami posisi perempuan dipandang sebagai sosok yang lemah dan tidak
berpendidikan yang kemudian justru menjadi motivasi Kartini dalam
mewujudkan keinginannya. Akan tetapi, dalam menghadapi situasi ini perjalanan
Kartini tidak sepenuhnya mudah.
Dalam hal lain
Kartini juga mendapatkan diskriminasi di masa sekolahnya. Berbagai diskriminasi
yang dituliskan oleh Pram, yakni diskriminasi ras yang berusaha mengatakan
bahwa warna kulit dan intelektualitas kaum pribumi tidak lebih baik ketimbang
kaum kolonial.
Pada bab
berikutnya, Kartini harus masuk pada babak masa pingitan. Pada awal ia harus
masuk masa pingitan dan harus mengakhiri masa sekolahnya, ia sempat
memohon-mohon kepada Ayahnya untuk melanjutkan ke HBS, namun tentunya ayahnya
tak mengizinkan.
Kemudian, di dalam
penjara Kartini mengalami pendalaman dan dipaksa untuk memahami persoalan yang
sebenarnya belum pantas menjadi pekerjaannya. Dalam suratnya kepada Estella
Zeehandelaar, Kartini menceritakan perjalanannya dalam melewati suatu masa yang
mengerikan tersebut.
Bisa dibayangkan
bagaimana Kartini mengalami masa buruk saat itu. Kartini harus terbelenggu pada
serangkaian peraturan yang mengharuskannya untuk tetap pada framing perempuan
yang tidak diperbolehkan untuk melakukan urusan lain selain urusan rumah.
Kisah Kartini
terus berlanjut, hingga ia kembali memperoleh kebebasannya. Kemudian di bab
yang lain, Kartini mengisahkan kehidupan rakyat jelata dan kemiskinannya. Dari
sana ia tahu dan mendapati tata hidup feodalisme pada bangsanya.
Kartini juga
menolak anggapan feodal bahwa feodal adalah makhluk-makhluk dari lapisan
teratas di dalam masyarakat. Hal ini dikarenakan Kartini menemui ketidakadilan
didalam sistem tata hidup feodalisme. Bagi Kartini, feodalisme
merupakan suatu struktur masyarakat yang sakit.
Alasan inilah yang
mendorong Kartini untuk memperjuangkan pendidikan pada bangsanya, dengan ia
berkirim Surat dengan teman-teman Eropanya. Hingga surat-surat itu dihimpun
oleh Mr.J.H. Abendanon dan terbitkan dengan judul “Door Duisternis tot Light” atau
dalam bahasa Indonesianya “Habis Gelap terbitlah Terang”. Bahkan
Inggris pernah menerbitkanya dengan judul “Letters of a Javanese
Princess”. Dari buku itu pula, tokoh Kartini menginspirasi bangkitnya
emansipasi wanita Syria.
Begitulah
Pram menceritakan sosok Kartini yang dimana “Panggil Aku Kartini
saja” ialah permintaan Raden Ajeng Kartini sendiri kepada Stella dalam
Surat pertamanya dan kemudian diadopsi oleh Pram menjadi judul bukunya. Pram
memahami keinginan Kartini untuk dipanggil ‘Kartini’ saja.
Sebab, Raden ajeng
akan ditautkan dengan jabatan ayahnya, sedang Raden Ayu akan dihubung-hubungkan
dengan gelar suaminya. Raden Ajeng Kartini ingin dikenal sebagai ‘Kartini
saja', karena nama Kartini sudah di kenal jauh sebelum menikah. Mungkin
saja Raden Ajeng Kartini ingin di kenal dengan prestasi dan perjuangannya bukan
hanya garis keturunannya.
Hingga akhirnya,
kini Raden Ajeng Kartini disebut-sebut sebagai tokoh Feminisme sebab
perjuangan-perjuangannya melawan ketidakadilan-ketidakadilan terhadap dunianya
yang feodal untuk mengajarkan pendidikan pada para perempuan. Bagi Kartini,
jauh sebelum semangat emansipatori digaungkan, dia telah memiliki gejolak untuk
menjemput kemerdekaan dalam membangun kehidupan yang berdikari.
Buku karangan Pram ini layak untuk dibaca bagi
mereka yang ingin mengenal suatu gerakan feminisme. Sebab buku ini menunjukkan
wajah gerakan feminisme Indonesia yang dibawa oleh RA Kartini. Sehingga kaum
feminisme dapat terhindar dari jebakan bias gender.
Judul Buku:
Panggil Aku Kartini saja
Penulis: Pramoedya
Ananta toer
Penerbit: Lentera
Dipantara
Cetakan: April,
2012
Halaman: 301
Silvia Ahmidah
Santri Pusat
Kajian Filsafat dan Teologi