Manusia
berjalan dalam kehidupan ini, pasti memerlukan sebuah pegangan. Pegangan ini
tidak serta merta hadir begitu saja. Karena, hal ini tidak lahir dengan
sendirinya. Nah.. perlu kita ketahui mengapa pegangan ini sangat penting dalam
kehidupan manusia?. Pada hakikatnya, manusia memiliki salah satu sifat yang
dimana itu sejak zaman kuno sudah tertanam di diri setiap individu yaitu rasa
takut. Dan rasa takut ini melahirkan rasa yang lain, salah satunya rasa
keterbutuhan. Sehingga manusia memilih hidup berkoloni untuk menghilangkan rasa
takut dari ancaman-ancaman yang ada. Untuk memudahkan komunikasi satu dengan
yang lain, manusia menemukan Bahasa yang mampu menyatukan tujuan mereka untuk
tetap bertahan hidup. Dengan hidup berkelompok manusia pada awalnya masih dalam
satu tujuan.
Namun,
setelah kelompok ini berkembang dan bertambah banyak diperlukannya sesuatu
untuk mengatur jalan hidup setiap manusia yang dimana, mungkin manusia sudah
tidak bisa diatur untuk tetap satu tujuan bahkan berperilaku melenceng hingga
menyusahkan manusia lain. Oleh karena itu, diperlukannya sesuatu yang mampu
mengatur jalan hidup setiap manusia. Sehingga lahirlah mitologi dan teologi
yang dipercaya mampu mengatur jalan hidup manusia dengan hukum yang pada
kenyataannya dibuat oleh manusia itu sendiri. Namun, kepercayaan ini telah
bertahan hingga saat ini, dan sering disebut dengan “agama” dalam Bahasa
sehari-hari di negara kita. Agama ini berasal dari Bahasa sansekerta yang
memiliki arti “cara hidup”.
Agama
dipercaya mampu mengatur cara hidup manusia dengan harapan tidak akan ada
perilaku negatif terhadap orang atau manusia lain. Tetapi, hal ini tidak
bertahan lama karena setiap manusia terus berkembang dan menginginkan kemajuan
serta dengan adanya problem social yang terus berubah. Akhirnya, menjadikan
manusia ini tetap Kembali ke sifat mereka yang sangat membutuhkan sesuatu yang
relevan sesuai dengan situasi dan kondisi social yang ada. Dengan
mempertanyakan sesuatu yang sudah ada, sehingga mereka mengoreksi dan
mengevalusi suatu kepercayaan yang sudah dipercaya sejak lama. Hari ini, bisa
sangat kita rasakan betapa kritisnya manusia dulu yang tidak hanya mengikuti
ajaran-ajaran yang ada. Namun, dengan perbedaan agama-agama dan banyaknya
aliran-aliran dari setiap agama hari ini bisa kita rasakan serta saksikan
betapa lucunya manusia itu.
Sebenarnya,
tidak perlu jauh-jauh untuk mencontohkan suatu perbedaan. Dengan perbedaan
pendapat kita sehari-hari dalam menilai suatu perkara, disitu sudah akan
tersampaikan berbagai pandangan setiap individu yang memang bawaan sejak dulu
sebelum orang hari ini yang berusia 1 abad lahir jika manusia itu menyadarinya.
Bahkan, Ketika manusia itu dilarang untuk kritis mungkin orang yang melarang
itu sedang ingin menjadikan manusia lain sebagai hewan atau tumbuhan yang
dimana tidak pernah terdengar suara protes makhluk-makhluk itu tercipta.
Hahhaha… Terlepas dari berbagai
candaan
diatas, bahwasannya kebenaran akan terus dicari dengan kesesuaiannya terhadap
situasi yang ada dan aktual
untuk segera diselesaikan.
Seperti
halnya perbedaan pendapat di dunia islam sendiri, yang akan dibahas disini.
Opini akan tersampaikan singkat dan padat yang dimana tidak mengagung-agungkan
salah satu. Dari epistemologi aliran-aliran yang dibahas. Pembahasan terkait
orang-orang di Indonesia yang lebih cenderung memilih aliran al asy’ariyah
daripada mu’tazilah. Dari sini kita akan mendapatkan kesimpulan tersendiri
terhadap orang Indonesia itu.
Mu’tazilah
adalah salah satu aliran dalam teologi Islam, yang menggunakan pemikiran
rasional untuk menjelaskan masalah ketuhanan. Secara epistemologi pemikiran
rasional Mu’tazilah terpengaruh oleh pemikiran filsafat. Mu’tazilah menggunakan
metoda berfikir filsafat untuk memnjelaskan dan menetapkan persolan Ketuhanan. Mu’tazilah berpandangan
bahwa Tuhan telah memberikan kemerdekaan dan kebebasan bagi manusia dalam menentukan kehendak dan
perbuatannya, karena Tuhan tidak absolute dalam kehendak-Nya, dan Tuhan
mempunyai kewajiban berlaku adil, berkewajiban menempati janji, berkewajiban
memberi rizki. Dalam hubungannya dengan perbuatan manusia , kehendak mutlak
Tuhan jadi terbatas karena kebebasan itu telah diberikan kepada manusia dalam
menentukan kemauan dan kehendaknya. Menurut mu’tazilah posisi manusia dalam tatanan alam semesta memiliki pandangan
tersendiri. Manusia harus berhubngan dengan alam, dan tidak dapat menghindarkan
diri dari ketentuan-ketentuan yang berlaku berdasarkan hukum alamiah. Jika
dikaitkan dengan paham free will dan free act, sudah menjadi
perdebatan panjang dikalangan teologi Islam.
Asy'ariyah
adalah mazhab teologi yang disandarkan kepada Imam Abu al-Hasan al-Asy'ari (323
H/935 M) dimana sebelum aliran ini dideklarasikan beliau pernah belajar pada
aliran mu’tazilah. Asy'ariyah mengambil dasar keyakinannya dari Kullabiyah,
yaitu pemikiran dari Abu Muhammad bin Kullab dalam meyakini sifat-sifat Allah.
Kemudian mengedepankan akal (rasional) di atas tekstual ayat (nash) dalam
memahami Al-Qur'an dan hadis. Asy'ariyah menggunakan tiga jenis metodologi yang
berbeda untuk menjelaskan akidah di dalam dakwah. Ketiga jenis metodologi ini
yaitu tekstual, rasional, dan dialektika. Metodologi tekstual meliputi kegiatan
penerimaan wahyu tanpa mempermasalahkan isi dari wahyu tersebut. Metodologi
rasional digunakan untuk mengaitkan antara akidah dengan pemahaman yang
maksimal melalui akal yang digunakan untuk memberikan penjelasan atas suatu
kebenaran. Sedangkan metodologi dialektika meliputi kegiatan diskusi dan
pertukaran pikiran secara khusus digunakan dalam mazhab Asy'ariyah untuk
memenangkan debat dengan mazhab pemikiran yang berlawanan dengannya, yaitu
Mu'tazilah.
Mungkin
sangat singkat saja, mengapa manusia di Indonesia cenderung memilih aliran al
asy’ariyah daripada mu’tazilah. Pastinya dengan keadaan nenek moyang Indonesia
yang sangat mempercayai mitologi dan hal-hal metafisika. Adapun dari sejarah
masuknya agama-agama di Indonesia sehingga mudah sekali diterima, tentunya dari
kepercayaan sebelum hindu itu masuk sudah ada. Setelah itu, ajaran hindu,
budha, islam, dan nasrani
yang dari keseluruhannya memiliki benang merah bahwa ajaran yang disampaikan
tidak jauh beda dengan ajaran nenek moyang yang sudah sejak lama mewarnai
kehidupan di Indonesia sendiri.
Dari
pernyataan diatas, dapat terlihat persamaan dan perbedaan dari kedua aliran
teologi islam atau disebut ilmu kalam. Dimana, pembahasan ilmu kalam merupakan
pembahasan yang sangat fundamental. Namun, beberapa pendapat pembahasan ini
juga sangat membahayakan untuk dibahas bahkan sekedar disampaikan. Entah
mengapa, sependek itu terkait urgensi dari pembahasan ini yang lagi-lagi
didasarkan pada rasa takut. Takut akan adanya kesalahpahaman, penyelewengan,
serta pemutar-balikan fakta yang pada kenyataannya orang-orang ini takut bahwa
akan ada atau lahir suatu ideologi yang berbeda dengan orang atau manusia dalam
aliran yang dimana tidak sesuai dengan orang yang melarang. Bahkan muncul juga
anggapan akan lahirnya ideologi baru yang pastinya bertentangan dengan sudah
dia pelajari dari awal.
Padahal,
lahirnya setiap ideologi dari semua agama beserta aliran-alirannya berawal dari
ketidaksetujuan maupun ketidaksesuaian terhadap ideologi sebelumnya atau yang
sudah ada. Dan tidak sedikit dari setiap tokoh dalam ajaran-ajaran ini pernah
mengenyam ajaran yang mereka/beliau kritik kala itu. Serta setiap ajaran juga
tidak bisa terlepas dari yang sudah ada, disinilah hebatnya manusia yang mampu
menginovasi dari kreatifitas yang dibawa sejak purbakala contohnya, batu jadi
palu, dan palu itu bisa diharamkan saat bersama sabit padahal sabit juga
mahakarya yang luar biasa dari manusia, namun ketidakrasionalan telah mandarah
daging untuk menghukumi itu haram atau dilarang.
Konklusi
dari semua opini ini ialah, manusia yang diberi akal untuk berfikir menjadikan
mereka sebagai makhluk yang luar biasa. Namun, kesombongan ini akan hanya
sebatas pembanggaan diri saja, jika tidak ditopang dengan intelektual,
emosional, dan spiritual yang mampu menyadarkan semakin manusia berfikir maka
semakin manusia itu sadar bahwa manusia itu tidak tahu apa-apa.
“saya
tahu bahwa saya cerdas, karena saya tahu bahwa saya tidak tahu apa-apa,”
Socrates
(339 SM)
Santri PKFT