Judul : Age of Samurai Battle for Japan
Sutradara : Stephen Scott
Produksi : Netflix
Rilis : 24 Februari 2021
Jumlah : 6 Episode
Ketika kita mendengar kata “Samurai”, mungkin
kata itu sudah tidak asing dalam bacaan dan telinga kita. Seperti yang kita
ketahui samurai memiliki skill dan insting tinggi dalam menggunakan pedang
khasnya, yakni "katana". Selain itu, samurai juga tergambar dalam game playstation 2, salah
satunya adalah "Sengoku Basara" dan juga anime
samurai era 2000-an rambut merah dan tanda silang dipipi yakni
"Samurai-X".
Namun siapa sangka
samurai bukanlah sosok fiksi, keberadaan
mereka benar adanya dan
memiliki kontribusi serta peran yang besar bagi perkembangan era feodal Jepang sekitar abad
ke 14 sampai 16. Mereka mengabdikan hidup dan matinya untuk
"Daimyo" (pimpinan keluarga
bangsawan), sebagai tangan kanan yang setia mereka akan tunduk dan patuh pada
tuannya. Menariknya, dalam berbagai literatur dijelaskan jika tuan dari samurai
kehilangan wilayah
kekuasaannya, maka samurai tersebut akan mendapat julukan "Ronin" (samurai tanpa tuan).
Bagi penulis, film
dokumenter series garapan Netflix
berjudul "Age of Samurai: Battle for
Japan" dengan sempurna berhasil memutar ulang dan menggambarkan
suasana Jepang era Sengoku abad ke 14-16.
Adanya adegan penjelasan akademisi dan sejarawan serta penggunaan kostum yang mendetail dengan khas ala samurai seperti Yoroi (zirah), Jinbaori
(mantel), Kabuto (helm) serta properti
pendukung lainnya.
Film ini telah berhasil
menghidupkan kembali koleksi peraga dalam kaca museum, atau lebih tepatnya museum yang berjalan. Serial ini dengan
epik berhasil mengajak penonton melihat secara
nyata pertikaian
antara kerajaan-kerajaan feodal
Jepang dengan jenderal perangnya dalam menuju
kekuasaan yang mutlak.
Dalam
pandangan penulis, film ini berhasil
menggambarkan era samurai
dengan begitu realistis. Dengan demikian, film ini layak untuk dinikmati
oleh kalangan dewasa saja. Sebab di dalamnya
banyak menyuguhkan adegan kekerasan, eksekusi pemenggalan kepala, "Seppuku/Harakiri" (bunuh diri) dan seks.
Adapun salah satu contoh dari adegan
di atas adalah digambarkannya adegan harakiri secara
nyata pada prosesi perobekan perutnya. Sedikit informasi bahwa harakiri adalah ritual bunuh diri yang dilakukan oleh samurai Jepang dengan
cara merobek perutnya dengan katana pendek. Ritual itu dilakukan sebagai konsekuensi atas
kegagalan atau kesalahan
yang dilakukan oleh seorang samurai,
demi memulihkan nama baik dan kehormatan klan serta dirinya.
Pada tulisan ini
penulis tidak akan menjelaskan secara detail dari setiap
seriesnya. Akan
tetapi, hanya gambaran dari garis besar yang penulis dapatkan melalui film tersebut.
Film ini berfokus pada
tiga orang paling berpengaruh pada masa Jepang era Sengoku yakni Oda Nobunaga (1534-1582),
Toyotomi Hideyoshi
(1537-1598) dan Tokugawa
Ieyasu (1542-1616). Jepang mengalami gejolak transisi
sejarah yang cukup panjang, peralihan Jepang pada masa tradisional sampai
modern merupakan buah tangan dari pengaruh ketiga tokoh tersebut.
Jepang Era Oda Nobunaga
Pada era-nya Oda Nobunaga berhasil menguasai Jepang bagian tengah
dengan waktu yang terbilang cepat. Klan Oda yang dahulu dianggap klan biasa oleh para daimyo,
berubah menjadi klan yang ditakuti dan menjelma menjadi
suatu ancaman. Nobunaga menjadi daimyo pertama yang memiliki kekuasaan
paling luas di Jepang. Hal ini dia
dapatkan berkat kecerdikan dan strategi
militer yang digunakan, ditambah lagi penggunaan senapan api yang saat itu
keberadaannya ditolak oleh para daimyo.
Cepatnya penaklukan
wilayah dengan dibarengi gerakan genosida anti-buddism
yang dilakukan Nobunaga membuatnya menjadi orang paling kejam dan ditentang
banyak daimyo. Hingga pada akhirnya
ia dikudeta oleh panglimanya sendiri yang bernama Akechi Mitsuhide, usut punya usut
Mitsuhide adalah penganut Buddha
yang taat hingga puncak kebenciannya terhadap Nobunaga adalah pasca pembakaran Kuil Enryakuji yang merupakan kuil agung umat Buddha.
Oda Nobunaga melakukan harakiri di Kuil
Honnoji akibat pengepungan mendadak dari Mitsuhide dan pengikutnya, peristiwa
tersebut kemudian dinamakan insiden ‘Honnoji 1582’. Atas kejadian tersebut Akechi Mitsuhide
memproklamirkan diri menjadi daimyo
selanjutnya. Namun, dalam berbagai literatur disebutkan jika Mitsuhide hanya dalam kurun waktu tiga belas hari menjadi daimyo, karena ditumpas oleh panglima setianya, yakni Toyotomi Hideyoshi.
Jepang Era Toyotomi Hideyoshi
Toyotomi Hideyoshi
menjadi daimyo melanjutkan
kepemimpinan Oda Nobunaga. Dibawah kekuasaannya seluruh Jepang berhasil
ditaklukkan dan menjadikan Klan Toyotomi menjadi klan
nomor satu di Jepang.
Pada era Hideyoshi
Jepang mengalami kemajuan yang cukup pesat, hal ini dapat dilihat pada penataan administrasi, perdagangan antar negara dan
diterapkanya hukum membuat Hideyoshi tidak
tergoyahkan di puncak kekuasaan. Fakta menariknya Hideyoshi adalah seorang
samurai yang
tentunya bukan dari klan bangsawan, namun ia berhasil merubah nasib dan martabat
Klan Toyotomi menjadi klan terpandang di Jepang.
Hideyoshi membuat
keputusan yang tidak akan pernah terpikirkan banyak orang yakni melakukan invasi
ke Tiongkok untuk menjadi orang nomor satu di
Asia. Tiongkok
sendiri pada masa itu dikuasai oleh Dinasti Ming. Namun, dia
harus menyeberangi Korea sebelum melakukan invasi ke Tiongkok.
Korea
yang saat itu dikuasai oleh Dinasti
Joseon menolak surat perizinan penyeberangan pasukan
invasi. Dengan
ini Hideyoshi mengeluarkan keputusan
bahwa Korea harus ditaklukkan.
Jepang
melakukan invasi sebanyak dua kali,
yakni pada 1592 dan 1597 mengalami kekalahan telak, akibat Dinasti Joseon bekerja sama dengan Dinasti Ming. Kekalahan telak tersebut membuat Hideyoshi
mulai diragukan kepemimpinanya. Akibatnya banyak kudeta yang dilakukan. Hingga
akhir hayatnya impian Toyotomi Hideyoshi tersebut tidak tercapai.
Sebelum kematiannya
Hideyoshi menunjuk lima dewan tetua untuk meneruskan kekuasaanya, yang
mana ini merupakan kesalahan terbesar keduanya setelah melakukan invasi ke
Korea. Penunjukan lima dewan yang memiliki tugas memerintah sementara
untuk menunggu puteranya yakni Toyotomi Hideyori tumbuh dewasa dan siap
meneruskan kekuasaanya.
Tahun 1600M terjadi perang “Sekigahara”
yang mana menjadi imbas dari kesalahan penunjukan lima dewan tersebut, yakni antara kubu Tokugawa Ieyasu yang
memiliki tugas
sebagai dewan pusat pemerintahan yang
berambisi memerintah Jepang dan kubu Ishida Mitsunari sebagai dewan panglima bagian barat yang ingin mengangkat Toyotomi
Hideyori sebagai pemimpin yang sah. Hingga akhirnya perang itu dimenangkan oleh
Ieyasu yang mana dia menjadi daimyo
secara de facto selanjutnya.
Jepang Era Tokugawa Ieyasu
Kemenangan perang
Sekigahara menjadi momentum naiknya Tokugawa Ieyasu menjadi daimyo nomor satu di Jepang. Ieyasu merupakan panglima paling setia Oda
Nobunaga setelah Toyotomi Hideyoshi, selepas itu
Ieyasu meneruskan perjuangan para pendahulunya.
Dengan kondisi Jepang sudah berada dibawah kendalinya ia menamainya dengan era
Edo yang sekaligus mengakhiri era Sengoku.
Pada masanya Ieyasu
memilih memutus Jepang dari koneksi dunia luar, hal ini diprediksikan memiliki kesamaan seperti gambaran kondisi Korea Utara pada saat ini. Ieyasu dengan serius menata ulang Jepang, dia
menyingkirkan klan yang menentangnya memindahkanya ke
pinggiran Jepang. Bahkan memusnahkan klan
tersebut jika dirasa mengancam kedudukannya. Hal ini terkesan kejam namun
Ieyasu telah belajar dari kejadian pada era
Nobunaga dan Hideyoshi.
Setelah semuanya
tercapai banyak penasihatnya berpendapat jika masih ada satu kekuatan yang bisa
menggulingkan kekuasaannya, yakni Toyotomi Hideyori.
Dimana Hideyori adalah penguasa yang telah
diwasiatkan oleh daimyo sebelumnya, yaitu Toyotomi Hideyoshi. Ieyasu dengan cepat segera
melakukan pengepungan terhadap Hideyori, tahun 1614 dimulailah pengepungan
Osaka. Akibat dari pengepungan itu Hideyori melakukan seppuku dan seluruh klannya
dimusnahkan.
Tokugawa Ieyasu menjelma menjadi penguasa tunggal tanpa ada kekuatan lain yang mampu
menggulingkannya. Era Edo
bertahan sampai lima
belas generasi, yakni tahun 1603-1868 dan hingga berakhir dengan restorasi
Meiji, mampu mengembalikan kekuasaan sepenuhnya pada kaisar
Jepang sebagai pemerintahan tunggal. Titik inilah yang menandai berakhirnya
seluruh era Keshogunan di Jepang.
Berkaca
dari film ini, penulis berpendapat
jika ada satu momen kecil yang dimanfaatkan salah satu penguasa feodal untuk
mampu menginvasi seluruh Jepang yakni era Nobunaga dengan menggunakan teknologi senapan api (tenegashima), dimana saat itu banyak daimyo yang menolak
kehadiran teknologi asal Portugis kala
itu. Hingga Nobunaga meraih berbagai kemenangan cepat akibat dari pemanfaatan senjata ini, Klan Oda mendadak menjadi
kekuatan yang memiliki daya tempur lebih maju dalam mengalahkan klan-klan yang lain.
Fakta ini secara nyata mengukir sejarah teknologi mampu merubah peradaban
manusia. Atas deretan peristiwa tersebut,
kini Jepang mampu menjadi negara paling maju di Asia.
Penulis
beranggapan bahwa adaptasi yang cepat dan
pemanfaat peluang menjadi poin penting. Kiranya bangsa Indonesia perlu memiliki
kesadaran sedemikian
rupa dalam menyikapi perekmbangan zaman.
Sedangkan Toyotomi
Hideyoshi adalah bukti nyata jika samurai biasa kelak mampu menjadi daimyo
nomor satu di Jepang. Atas kerja
kerasnya dalam gelanggang tempur, ia mendapat pengakuan dari Oda Nobunaga
sebagai panglimanya. Maka, alasan pengabdian dan kesetiaannya yang membuat dia merasa mampu untuk
meneruskan kekuasaan Nobunaga sebagai daimyo.
Kemudian Tokugawa
Ieyasu adalah representasi dari orang memiliki kesabaran tinggi. Klan Tokugawa merupakan klan
pertama yang bersekutu dengan Klan Oda, karena Ieyasu kala itu memahami
bergabung dengan Klan Oda lebih baik ketimbang melawannya. Ieyasu menjadi
panglima setia Nobunaga dan berlanjut sampai era Hideyoshi dia sebagai orang nomor
dua di Jepang.
Maka, kemenangannya di
perang Sekigahara (1600M) adalah buah dari kesabarannya demi menjadi daimyo tertinggi, Ieyasu telah berhasil
mengalahkan musuhnya dengan kesabaran. Penulis menilai tiga orang tersebut memiliki sikap yang patut untuk kita contoh, yakni Nobunaga dengan kecepatan adaptasinya, Hideyoshi
dengan kerja keras dan Ieyasu dengan kesabaran.
Penulis:
Muhammad Faried