Indonesia menjadi salah satu negara di dunia dengan laju
perubahan tata guna lahan yang
cukup tinggi. Kondisi ini terjadi akibat aktifitas deforestrasi, baik karena
pemberian konsesi penebangan hutan maupun pembangunan perkebunan sawit skala
luas. Proses akuisisi tanah dan penyingkiran petani tersebut tak hanya
disebabkan oleh proses-proses pelibatan investasi korporasi, melainkan juga
terjadi di tingkat komunitas. Praktik perkebunan menunjukkan penyerapan rendah
terhadap tenaga kerja lokal sekitar perkebunan. Hal ini menjadikan petani
sekitar putus hubungan dengan tanah menjadi tenaga kerja bebas.
Selain itu, tidak terintegrasinya ekonomi warga dengan sistem ekonomi
perkebunan dan pada saat yang bersamaan tekanan
akan kebutuhan pekerjaan berbasis tanah kian meningkat, mendorong petani menggarap areal perkebunan. Fakta
menurunnya minat pemuda pedesaan yang bekerjadi pertanian muncul karena semakin
jauhnya pengetahuan pertanian, penurunan kualitas pertanian dan kehidupan di
desa, perampasan lahan oleh korporasi besar dan sulitnya akses terhadap lahan.
Padahal, komoditas seperti padi, jagung, kedelai, dan
sebagainya menjadi kebutuhan pangan primer bagi manusia. Sedang sawit, kopi,
karet, dan sebagainya hanyalah kebutuhan pangan sekunder. Pangan pun menjadi
persoalan krusial dalam menunjang kelangsungan hidup rakyat. Sebagai pilar penyedia pangan, sektor pertanian
seharusnya mampu mengimbangi kebutuhan pangan seiring dengan pertambahan jumlah
penduduk.
Munculnya inovasi pemerintah yang bekerja sama dengan PT
Pertamina pada pertengahan 2020 untuk membuat program B100 bahan bakar yang
100% dari sawit, hal ini
semakin mempertegas bahwa tanaman sawit menjadi monokultur yang diprioritaskan pemerintah, bukan malah padi yang merupakan bahan pangan pokok. B100
merupakan penemuan yang diklaim sebagai bahan bakar nabati terbaik yang ramah
lingkungan. Program dengan nama Bleached
and Deodorized Palm Oil (RBDPO) 100% yang menghasilkan produk Green Diesel (D-100) kini sudah
diproduksi sebanyak 1.000 barel per hari di fasilitas existing Kilang Dumai.
Dengan target produksi yang semakin tinggi, maka tidak
dipungkiri akan terus masif perluasan penanaman kelapa sawit. Akibatnya, alam
akan di eksploitasi besar-besaran dan sekali lagi masyarakat akan diberlakukan
sebagai pekerja pabrik dan perkebunan milik negara. Hal tersebutlah yang bisa
mengakibatkan punahnya generasi petani dimasa depan. Nampaknya kata-kata mural
yang sering ada di tembok-tembok kota memang sangat pas dengan keadaan saat ini
"Menjadi Buruh Di Negara Sendiri".
Saya teringat seorang pemikir Marxsisme asal tiongkok, Mao
zedong. Ada beberapa konsep pemikiran dari Mao yang terkenal. Salah satunya
ialah teori konflik, baginya Konflik itu bersifat semesta dan absolut, hal ini
ada dalam proses perkembangan semua barang dan merasuki semua proses dari mula
sampai akhir. Model pemikiran Karl Marx juga berdasar pada prinsip konflik:
kelas yang menindas dan kelas yang tertindas, kapital dan pekerja berada dalam
sebuah konflik kekal. Pada suatu saat hal ini akan menjurus pada sebuah krisis,
dan kaum pekerja akan menang. Namun kedepannya akan muncul situasi yang sama
dan hal tersebut akan menjurus kepada sebuah krisis lagi, secara logis semua
itu merupakan perputaran proses. Menurut Mao semua itu akan membawa kita kepada
sebuah keseimbangan yang stabil dan harmonis. Kemudian ia berpendapat bahwa
semua konflik bersifat semesta dan absolut, jadi dengan kata lain bersifat
abadi.
Selanjutnya bergeser dari persoalan sektor perkebunan ada
yang lebih utama. Yakni sektor
pertanian, terutama beras yang menjadi makanan pokok sebagian orang Indonesia. Nah, di Indonesia nilai impor komoditi
pertanian selama beberapa tahun terakhir dinilai terus meningkat. Berarti fakta
menyatakan bahwa produktivitas pertanian nasional belum mampu memenuhi
kebutuhan konsumsi lokal akan produk pertanian. Fakta ini menohok bangsa kita
yang terkenal dengan kekayaan alam, seharusnya mampu menjadikan Indonesia
sebagai negara yang berbasis pertanian.
Dikutip dari Tempo.com, Badan Pusat Statistik (BPS)
mencatat bahwa pada 2018, Indonesia mengimpor beras mencapai 2.253.824,5 ton
dengan nilai 1,037 miliar dollar AS. Pada tahun tersebut memang tercatat
sebagai tahun terakhir Indonesia membuka keran impor beras secara
besar-besaran. Impor beras Indonesia menurun pada 2019. Jumlahnya menjadi
444.508,8 ton dengan nilai 184,2 juta dollar AS.
Sepanjang 2020, Indonesia masih mengimpor beras sebanyak
356.286 ton dengan nilai mencapai 195,4 juta dollar AS. Negara pengekspor beras
terbanyak untuk Indonesia pada tahun 2020 adalah Pakistan. Jumlahnya mencapai
110.516 ton atau senilai 41,51 juta dollar AS.Sebelum Pakistan berjaya pada
2020, pada kurun waktu 2011-2015, ada 5 negara penyuplai impor beras untuk
Indonesia.
Mengutip dalam laman Liputan6.com, Indonesia mengimpor
beras paling banyak ke lima negara ini sepanjang 2015, antara lain dari Vietnam
yang memasok US$ 202,56 juta (57,61 persen) ke Indonesia.Disusul Thailand
dengan nilai impor beras US$ 66,77 juta (18,99 persen) dan Pakistan senilai US$
62,95 juta (17,90 persen). Kemudian, di urutan keempat dan kelima ada India dan
Myanmar yang masing-masing memasok beras ke negara ini senilai US$ 13,67 juta
(3,89 persen) dan US$ 2,73 juta (0,78 persen).
Di sini saya tidak akan membahas euforia swasembada pangan
tahun 1984 yang akhirnya Soeharto mendapat medali penghargaan dari Food and Agriculture Organization (FAO).
Karena swasembada hanya berdampak sementara dan
lebih ditujukan untuk stabilitasi harga kebutuhan pokok agar iklim investasi
terlihat baik di mata investor asing. Terbukti hingga masa reformasi
lahan-lahan produktif berubah menjadi pabrik-pabrik dan sektor perkebunan yang
dikuasai investor asing.
Sebut saja proyek Food
Estate 1995 Soeharto, lahan 1,45 juta hektare di Kalimantan yang mangkrak.
Akhirnya, lahan tersebut hanya menjadi lahan gambut kosong penyumbang lahan
kebakaran. Bukannya meneruskan proyek yang mangkrak, era Jokowi justru malah
menambah 6 titik Food Estate, yakni tiga di Kalimantan, masing-masing satu di
Maluku, Sulawesi dan yang terluas di Papua, 1,2 juta hektar.Belum usai
permasalahan pertanian, gelombang besar perubahan global telah sampai didepan
mata, yakni perkembangan teknologi atau biasa disebut Revolusi Industri 4.0.
Revolusi industri 4.0 sebagai fase keempat dari perjalanan
sejarah Revolusi Industri yang dimulai pada abad ke-18 menjadi solusi sekaligus
tantangan untuk mencapai pemenuhan kebutuhan pangan berkelanjutan melalui
pertanian modern. Karakteristik utama dari Revolusi Industri 4.0 adalah adanya
internet, 3D printer, teknik
genetika, penggunaan sumber energi yang ramah lingkungan (green energy), pembangunan industri high tech, serta transportasi berupa mobil listrik dan kereta cepat
Hadirnya pupuk kimia, traktor modern, dan lain sebagainya,
harus dilihat dari kacamata jangka panjangnya, bukan hanya lewat kacamata hemat
dan praktisnya saja. Ini yang jadi tugas besar kita semua. Kesadaran diri yang
selama ini masih beberapa, harus ditularkan ke banyak kepala. Penemuan
formulasi solusi baru menjadi tugas bersama. Penyuluhan atau sosialisasi kepada
masyarakat tani dan pendampingan secara berkala perlu dilakukan. Bukan hanya
mengandalkan pemerintah, kita sebagai individu yang memiliki kesadaran penuh
harus menjadi pioner bagi semua.
PETANI
YANG SEHARUSNYA MERUPAKAN KEBUTUHAN KOMUNAL MENJADI KOMODIFIKASI KEBUTUHAN INDUSTRIAL
Penulis :
Muhammad Faried (Santri
PKFT)