Kendatipun saya disibukkan dengan waktu luang, masa ketika menanti
ujian kompre datang, saya sesekali masih membaca novel atau buku ringan yang
bisa dituntaskan dalam waktu semalam. Kemarin sore, hari Minggu, rutinitas saya
membeli buku, bermenit-menit saya habiskan hanya untuk memilah dan mencari buku
yang mood-saya inginkan.
Dari rak sos-pol, filsafat, sastra dan pendidikan, tak saya temukan
satu buku yang menarik, namun ketika saya kembali memutar mata di etalase
depan, tertulis kata "baru rilis", mata saya berkaca-kaca melihat
salah satu buku mungil dengan cover seorang perempuan paruh baya mengenakan
Kimono berkelas.
Dan, itulah pertemuan saya dengan novel berjudul "Afther
the Banquet" karya Yukio Mishima. Tak perlu dibahas panjang lebar,
Mishima adalah sastrawan asal Jepang yang tersohor, dikenal karena
kepiawaiannya meramu kata dalam balutan makna filosofis madzhab
eksistensialisme. Sebuah aliran filsafat yang tak lepas pagar membicarakan
tema-tema tentang kematian, problem keberadaan dan kodrat alami kehidupan
manusia.
Saya memulai membaca buku itu kemarin pukul 17.00 WIB dan selesai
hari ini pukul 19.30 WIB, saya membaca seteliti mungkin, sekaligus sedikit
mencoba memilah quotes yang ada di dalamnya. Novel ini memgisahkan seorang
perempuan paruh baya bernama Kazu, seorang nyonya (baca: pemilik) sebuah kedai
dan restoran berkelas tinggi.
Kedai itu merupakan ruang publik yang seringkali digunakan oleh
para petinggi negara untuk berkumpul, rapat maupun mereyakan hajatan-hajatan
politik tertentu. Orang-orang tumpah ruah di sana, bercengkrama satu sama lain,
dan pelanggah partai yang tak pernah absen mengunjungi kedai itu ialah anggota
partai radikal dan partai konservatif.
Kazu yang merupakan manusia kawakan yang sudah merasakan asam-manis kehidupan, telah terbiasa dengan perubahan-perubahan mendasar dalam pola sosial, ekonomi, fashion maupun cara pandang masyarakat, terbukti ketika Kazu bertutur "anak-anak muda berpikiran konyol, mengira apa yang terasa baru bagi mereka tentulah akan terasa baru pula bagi setiap orang.
Tak peduli sebarapa aneh mereka berkembang,
mereka hanyalah mengulang-ulang segala hal yang telah dilakukan sebelumnya.
Perbedaannya hanyalah bahwa masyarakat tidaklah banyak menentang tingkah ganjil
mereka sebagaimana biasa di masa lalu, dan orang-orang muda menjadi semakin
ekstrem demi menarik perhatian".
Babak pertama ini fokus
dalam pembacaan alur sejarah, Kazu sebagai manusia lintas zaman, memberikan
kesimpulan apik dalam menjelaskan kondisi konkrit atas realitas yang selama ini
dialaminya. Dan bukankah memang demikian adanya? Kenakalan kita tak lebih nakal
dari umat nakal terdahulu, semisal mabuk-mabukan, bercinta, dan lain
sebagainya. Hanya citra, mode fashion dan make-up kita saja yang berubah.
Lanjut, Kazu di tengah kepopulerannya sebagai nyonya terpandang,
suatu waktu bertemu dengan politisi asal partai radikal, orang itu bernama
Noguchi, lelaki berkepala empat, seorang intelektual dingin, penggila puisi dan
individu yang kekeh berdiri di atas dalil-dalil rasionalisme dan etika kuno
Jepang, ditambah, ia juga merupakan insan yang adaptif membaca wacana dari
Barat.
Pertemuan itu berkembang secara alamiah, tak dibumbui dengan
romantisme apapun, mungkin karena usia senja mereka berdua, mereka sama-sama
hidup dalam kesunyian, akhirnya mereka memutuskan untuk menikah. Namun, ada
angan-angan terdalam di perasaan Kazu, bukan semata-mata pernikahan dan status
sosial yang ia cari, ia menikah demi sebuah nisan, agar ia memiliki nama
belakang dari Noguchi, agar kelak nisannya tetap abadi diziarahi oleh keluarga
tersebut.
Bla.. bla... bla... akhirnya keduanya menyatu, membangun rumah
tangga, berbagi waktu dan usia. Hingga suatu momen politis hadir, Noguchi
disuruh pimpinan partai untuk mencalonkan diri dalam kontestasi pemilihan Gubernur,
kebimbangan muncul di dua kepala orang itu, tetapi, semangat tetap membara,
Kazu menyetujui permintaan itu, bahkan malah membantu sebagai donatur kampanye,
menjual kedainya sekaligus ikut serta dalam orasi-orasi pencarian masa.
Tetapi, kekalahanlah yang tiba, Mishima menulis "...segalanya
saling mempengaruhi. Atau begitu ia berharap. Orang yang punya aspirasi politik
punya musuh, tetapi orang dengan aspirasi puitik seharusnya tidak
punya..." ucapan itu menunjukkan sisi gelap dari politik, karena
kecamuk perang atas kekalahan Noguchi sebenarnya lahir dari sengketa isu atas
nama baik Kazu, perihal track-record Kazu dalam urusan bisnis, jurnalis bodong
yang meliput soal itu memeras uang Kazu sebagai biaya tutup mulut.
Di titik ini, Kazu dan fakta bagi perempuan, ucap Mishima "...daya
tarik wanita adalah senjata ampuh menangkal uang otoritas, tapi
kenyataannya feminimitas kalah melawan uang", tema eksistensi
feminisme sangat mencolok di ulas pada bab ini, politik dan wanita menjadi
pisau sekaligus alat propaganda terbaik yang pernah ada di dunia.
Selepas kekalahan itu, Kazu dan Nogichi memutuskan untuk pulang ke
desa, mengambil bagian pada pelayanan usia tua, dalam benak Nogichi
"...setelah kehilangan semua hal baik material maupun finansial maupun
sosial, ia justru mendapati heningnya kebahagiaan...", tetapi, prahara
tak kunjung usai, Kazu masih berharap membalikkan takdirnya, ia mencari ruang
kemenangan dibalik jubah kedekatannya dengan para pejabat dengan melakukan
upaya mengabil alih aset kedai yang dimilikinya.
Namun sayang, skandal itu diketahui khalayak umum, pertikaian kian
kalut dan titik akhirnya, Kazu dan Nogichi bercerai, pupus sudah harapan Kazu
untuk dikenang dalam batu nisannya. Konflik eksistensial yang saya kira paling
dramatis muncul di sini.
Dengan terputusnya dua sejoli itu, semuanya kembali pada sumber
semula, Kazu menjadi nyonya atas kedainya. Nogichi pensiun dengan puisi,
seperti yang digambarkan Mishima di bait-bait akhir
Nogichi berharap menghabiskan sisa usia dengan 'puisi. “Puisi
melambangkan stabilitas dunia tahan goncangan. Puisi akan menampakkan diri
sungguh, itu harus terjadi ketika tak ada lagi bahaya perubahan dunia, di saat
orang tahu bahwa tak akan ada lagi serangan ketidakpastian, harapan atau
ambisi...", Mishima mengekspos puisi seakan-akan sebagai pelarian
terakhir dari hiruk-pikuk dunia yang kian kalut dan eksistensi manusia tertuang
dalam ruang bahasa, bernama sastra.
Endingnya, Yamazaki, selaku teman Kazu berkampanye atas nama
suaminya, menuang ucapan dalam upaya terakhir memaknai dunia politik, sebab ia
orang yang giguh berpolitik, ujarnya "...ia bekerja seperti kemabukan
anorganik. Itulah kenapa, tak peduli betapa parahnya aku gagal, tak peduli
betapa buruknya pengalaman yang kutemui, aku takkan pernah meninggalkan politik
sepanjang hidupku".
Nilai estetik yang saya ambil amat sangat banyak, kecakapan Mishima
mendaurulang kondisi eksistensial menjadi daya tawar terbaik dalam buku ini,
sebab tigal hal yang paling nyata dalam hidup manusia: Harta, Tahta dan Wanita.
Bahu membahu tampak di brengseknya kenyataan dunia. Salam Akal Sehat!
Mbah Dewo, 29-3-21
Penulis
Kowim Sabilillah