Penulis : Carlos Maria Dominguez
Penerbit : Marjin Kiri
Cetakan : 2016
Tebal : 76 halaman
Carlos Maria Dominguez lahir di Buenos Aires, Argentina pada tahun 1955 dan tinggal di Montevideo. Sebagaimana para penulis Amerika Latin,soal gaya bahasa saya rasa tidak bisa diragukan lagi,
Selain itu karya Dominguez yang satu ini tidak hanya memberikan hiburan dan pengalaman semata, melainkan buku yang berjudul Rumah Kertas ini mengingatkan kita untuk membaca buku, menjenguk perpustakaan dan pengabdian diri untuk membuat Anda mensyukuri kisah orang-orang yang mencintai buku lebih dari ia mencintai hidupnya sendiri.
Dalam momentum peringatan hari buku, izinkan saya untuk menyuguhkan kembali kisah beberapa orang yang begitu mencintai buku. Misanya, Marx dalam sebuah riwayat ketika ia masih mahasiswa yang gemar bertengkar dan luar biasa kasar namun cerdas, mengatakan boleh menghasilkan uang untuk bisa hidup dan menulis, tetapi tidak sedikitpun ia boleh hidup dan menulis untuk menghasilkan uang.
Begitupun dengan Orhan Pamuk yang mengatakan bahwa kebahagiaan terbesar adalah menikah dengan gadis yang menemanimu membaca buku-buku dalam usaha penuh gairah dan cita-cita berdua. Begitu penting peranan buku, dan membaca, buku ini sedikit menyentil beberapa orang yang lebih banyak menjadikan buku sebagai pelurus atau penghalus suatu benda.
Tidak seperti novel pada umumnya, Maria Dominguez bukan hanya menekankan pengembaraan tokoh pada setiap alurnya, melainkan juga menempatkan buku itu sendiri sebagai poin penting pada novel ini. Tokoh ‘aku’ di buku ini terpaksa harus menggantikan Bluma di jurusan Sastra Amerika Latin yang tewas karena tertabrak mobil pada saat membaca buku,. Suatu pagi ia menerima paket misterius dari mendiang Bluma, berisi buku yang dipenuhi semen kering serta terdapat gambar perahu dan dikirim dengan cap Uruguay, dari sinilah cerita tragis Bluma mengantarkan rekannya mengunjungi Urugay yang membuatya tercengang tentang berbagai tokoh yang mencintai buku (bibliophile).
Pada pengembaraannya tokoh “aku” bertemu dengan Brauer, ia adalah seorang kutu buku, berapapun uang yang ia punya ia belikan untuk buku, rumah yang menjadi tempat tinggalnya berubah menjadi sebuah rumah yang menyerupai perpustakaan umum, mulai dari yang ia simpan di rak buku-buku besar yang memenuhi kamar-kamarnya, ruang tamu, dari lantai sampai ke plafon, dari ujung ke ujung, buku-buku juga bertumpukan didapur, bahkan di kamar mandi yang ia rela untuk tidak menyalakan kran air panas hanya agar tidak menguap dan merusak bukunya.
Ada yang lebih menarik dari Brauer ia bahkan rela memberikan sebuah mobilnya untuk seorang temannya hanya untuk menyisakan ruang di garasi hanya untuk dapat meletakkan buku karena melihat sudah tidak ada lagi ruang putih kosong untuk meletakkan sebagian buku-bukunya.
Delgado yang juga seorang (bibliophile) kemudian bercerita tentang kedekatannya dengan Brauer, yakni bagaimana Brauer menyukai buku-bukunya hingga tahap yang paling mengerikan. Brauer pernah suatu kali menyusun buku-buku membentuk kontur tubuh manusia yang diletakkan di atas ranjang.
Entah bagaimana memilih judul-judulnya ataupun warna-warna yang disukainya untuk menyusunnya, hanya Brauer yang tahu pasti. Delgado dan teman-temannya tidak berani bertanya karena berada dalam privasi kamar tidurnya.
Menurut Brauer, “tidak ada yang lebih penting daripada melihat buku-buku yang sekalipun terlihat berantakan di rumahnya”. Menurutnya pembaca adalah pengelana dalam lanskap yang sudah jadi dan lanskap itu tidak berkesudahan. Pepohonan telah ditulis, begitu pula bebatuan, angin di dahan-dahan, nostalgia akan dahan-dahan itu, dan cinta yang bersemi di kerindangannya. Dan kebahagiaan terbesar buat saya adalah bisa membenamkan diri, sekian jam sehari saja, dalam waktu kemanusiaan ini, yang bila tidak demikian akan terasa asing bagi saya.
Brauer, dalam pengembaraannya mengkoleksi buku buku menemui titik dimana kegelisaahan muncul dalam benaknya. Aku kerap bertanya-tanya mengapa kusimpan buku buku itu yang mungkin baru ada gunanya jauh dimasa mendatang, judul-judul yang tak terkait dengan minatku pada umumnya, buku yang pernah kubaca sekali dan tidak akan kubuka-buka lagi selama bertahun-tahun.
Itupun kalau pernah menurut Brauer Jauh lebih sulit membuang buku ketimbang memperolehnya. Dengan mereka kita terikat pada fakta-fakta kebutuhan dan pengabaian, seolah-olah mereka menjadi saksi bagi momen hidup kita yang takkan pernah terjumpai lagi.
Secara keseluruhan novel berjudul Rumah Kertas ini menawarkan sudut pandang yang berbeda bagi setiap pembaca. Memberikan stimulus untuk lebih memahami dunia buku maupun kecintaan terhadap buku. Sebuah kisah tak terlupakan tentang dunia sastra, perpustakaan dan kecintaan akan buku. Sebuah novel untuk dibaca ulang berkali-kali. Buku tipis yang bisa menghantui jauh sesudah ditutup.