Di tengah semakin
maraknya youtuber yang mewarnai dunia maya di negeri ini,
terselip narasi besar yang mucul efek dari konstelasi politik Pascapilpres
2019. Wacana besar ini bermuara dengan istilah People Power.
Luky Djani dalam artikelnya bertajuk, People
Power dan Pergantian Rezim memaparkan bahwa istilah tersebut sama
dengan istilah “trangressive contention”, yaitu kasus pertengkaran
dimana beberapa pihak dalam konflik adalah aktor politik yang baru
diidentifikasi sendiri yang mengunakan tindakan kolektif inovatif atau
mengadopsi cara-cara baik yang belum pernah terjadi sebelum atau dilarang di
dalam rezim dalam pertanyaan untuk mengajukan klaim (Indoprogress/30/11/2009).
Sedangkan Nicholas
Henry (2012) menyebut bahwa ‘People Power’ is a phrase that evokes images of
sudden and dramatic political change – mass demonstrations in the streets of
major cities, opposition leaders addressing the crowds, the crumbling of
regimes that had previously seemed unassailable.
Terjemahan
bebasnya kurang lebih begini: People Power adalah istilah yang
merujuk pada perubahan situasi politik yang mendadak dan dramatis–demonstrasi
massa di jalan-jalan kota besar, para pemimpin oposisi menyapa kerumunan, dan
runtuhnya rezim yang sebelumnya tampak tak tergoyahkan.
Sejarah telah
mencatat bahwa, People Power bisa mucul dari dua
gerbang. Pertama, gerakan dari bawah ke atas. Elizabeth A. Wilson
(2017) di dalam monografi series mengenai People Power
Movement and International Human Rights, mengartikannya sebagai gerakan
orang biasa untuk bersekutu satu sama lain dalam solidaritas dan penuntutan
hak.
Kedua, gerakan dari atas ke bawah. Gerakan yang
dimuarakan oleh para elit politik/pemangku kebijakan. Gerakan ini biasanya
muncul karena faktor politis dan cenderung hegemonial.
Dari berbagai
episode People Power yang telah terjadi di berbagai belahan
dunia, pasti memiliki struktur-struktur khusus pembangun gerakan. Skema itu
merujuk pada motif dan kepentingan gerakan tersebut dijalankan. Sebagaimana
penjelasan di atas tadi.
Elemen Pendukung
People Power bukanlah gerakan yang datang dari ruang
hampa, ia mencuat dan mendidih berdasarkan momentual situasi sebelumnya.
Semisal gerakan Reformasi 1998 yang pada dasarnya adalah akumulasi dari
ketidakadilan dan ke-otoriter-an rezim.
Elemen pendukung
merupakan mekanisme bermuaranya gerakan People Power.
Mekanisme-mekanisme yang yang dijalankan sangat memengaruhi keseluruhan proses
gerakan.
Di antaranya
meliputi struktur mobilisasi, tentang bagaimana mekanisme memobilisasi massa,
pembungkusan isu lewat berbagai media dan sampai kepada terhipnotisnya
kerumunan.
Selain itu,
perlu di petakan juga mengenai siapa saja elemen yang dapat berkecimpung inti
maupun support terutama yang non-pemerintah. People
Power adalah pesta rakyat, yang sanggup membuat orang biasa rela ikut
bertumpah ruah dalam aksi.
Terakhir yaitu
mengenai pentingnya legitimasi atas gerakan People Power tersebut.
Semisal, penggunaan bunga yang ditemuai dalam berbagai aksi damai. Itu berarti
penggunaan bunga telah diterima sebagai symbol perdamaian, hingga pada akhirnya
gerakan tersebut lebih mudah disyiarkan.
Bingkai Gerakan
Di hadapan
rezim, semua anggota People Power sama tuntutannya. Pada tahap
inilah identitas solidaritas dapat diperoleh. Reformasi 1998, rakyat menuntut
Presiden Suharto mundur. Tuntutan itulah yang menyambung satu almamater ke
almamater lain.
Dengan demikian
gerkan People Power membutuhkan solidarity maker.
Jika tuntutan yang diisukan lewat kanal media melewati rongga-rongga elemen
sosial diterima sebagai kepentingan bersama maka tuntutan tersebut naik tingkat
menjadi pemersatu yang diperjuangkan bersama.
Model rezim pasti
menentukan corak gerakan. Beda rezim beda pula cara mengontrol gerakan People
Power. Semisal rezim otoriter, tentu lebih menggunakan cara represif dalam
menekan gerakan rakyat.
Jika di Negara
demokrasi, semisal Indonesia, prosentasi kesuksesan gerakan ini lebih tinggi.
Termasuk dalam kasus pemilu 2019 ini, gerakan oposisi akan berhasil jikalau
kedua elemen sebelum ini dapat terpenuhi. Mobilisasi massa lewat media,
melibatkan pelbagai elemen masyarakat, dan memiliki tuntutan yang jelas,
termasuk jualan isu agama.
Namun, peluang
meng-counter-nya pun juga mudah. Kita bisa lihat, terlepas dari hukum
moralitas, pemerintah bisa melakukan berbagai cara guna meredamnya. Yang
terbaru ialah menekan mobilisasi massa lewat media dengan mengurangi kuasa
pengguna media sosial. Selain itu, pemerintah (petahana) terus menggandeng
sebanyak mungkin elemen masyarakat. Ditambah lagi pro aktifnya media mainstream kepada
pemerintah turut menyumbang kesuksesan meredam gerakan People Power yang
dicanangkan.
Dengan
demikian, perlu kita tekankan kembali istilah People Power itu
tidak melulu mengenai kebrutalan. Gerakan-gerakan kemanusiaan, bahkan tradisi
gotong royong di tanah jawa juga dapat diartikan sebagai gerakan People
Power. Mengenai persenggamaannya dengan pemerintahan itu cuma salah satu bentuk
dari People Power Movement yang pernah kita jumpai
di beranda sejarah.
PENULIS:
M. Dzulfikar
Hadi
Mahasiswa
Tadris Fisika di IAIN Tulungagung