RESENSI BUKU
Penulis:
Muhaimin
Judul buku:
Golput dalam Optik Kaum Santri
Penerbit:
Pustaka Pelajar
Tebal: 105
ISBN:
978-602-229-082-7
Golput dalam
optik kaum santri adalah sebuah buku yang mengupas tentang golput yang terjadi
di Indonesia dari masa-kemasa. Hal ini menjadi pembahasan kaum santri yang
notabene kelompok yang selalu ikut andil dalam membangun bangsa dari dulu
hingga kini.
Lalu bagaimana
tanggapan kaum santri terhadap fatwa golput yang diserukan Gus Dur pada tahun
2009. Yang menjadi fokus kajian buku ini, didalamnya menitik beratkan
penelitian pada salah satu Kabupaten Probolinggo, di mana daerah itu dengan
presentase 97,45% warga NU dengan kebiasaan tradisi patronase terhadap kharisma
Kyai atau manut dawuhe Kyai, apakah masih relevan dalam perkembangan zaman ini.
Di Indonesia
Golongan Putih (GOLPUT) atau istilah “No voting decision”, ada tiga masa
dalam penggolongannya. Yang pertama, pada tahun 1955 di mana pada
saat itu kondisi politik yang saling mengintimidasi antara kaum Unitarus dan
kaum Federalis, sehingga menimbulkan dilema terhadap masyarakat dan akhirnya
masyarakat memutuskan untuk memilih golput daripada menjadi korban intimidasi.
Yang kedua, tahun 1970-1990an golput pada masa itu dipicu karena tekanan politik yang dilakukan oleh penguasa otoriter terhadap masyarakat supaya memilih Golkar, bila tidak mencoblos Golkar, maka masyarakat akan dihukum. Yang ketiga, pada tahun 2004 berbeda dengan sebelumnya, golput pada masa ini dipengaruhi karena banyaknya partai yaitu mencapai 48 partai.
Partai yang begitu membludak
mengakibatkan masyarakat enggan menggunakan hak pilihnya. Karena masyarakat
kecewa terhadap Pemerintahan dan Legislatif yang tidak melakukan penyeleksian
dalam pembentukan partai sehingga banyak partai yang tidak sesuai dengan
kepentingan rakyat.
Dalam buku ini
menjelaskan masyarakat Probolinggo yang 95,40% warga NU sejak dulu mempunyai
kebiasaan apa yang diungkapkan oleh Sang Kyai, maka itu menjadi
panutan dan pandangan hidup mereka. Dalam pemilu, Partai Kebangkitan Bangsa
(PKB) adalah satu-satunya partai yang disetujui PBNU sehingga wajar jika partai
ini tempat aspirasi Kyai dan warga NU, apalagi Gus Dur anak dari pendiri
Organisasi NU.
Yang mendasari
Gus Dur mengeluarkan fatwa golput karena ada masalah internal dan eksternal.
Masalah internal PKB terjadi karena Yeni Abdurahman dan Muhaimin Iskandar sama-sama mengaku sebagai pemimpin pusat sehingga membuat PKB terpecah menjadi dua. Sedangkan masalah eksternal terjadi karena Gus dur menganggap pada tahun 2009 KPU tidak bekerja dengan baik, melakukan kecurangan dan kecerobohan.
Sehingga
Gus Dur mengajak seluruh kader PKB agar tidak mencalonkan diri sebagai Caleg di
KPU dan mengajak masyarakat NU untuk tidak memberikan suaranya di TPS. Dengan
metode wawancara, penulis buku menjelasan pro dan kontra terhadap golput.
Pertama, pandangan tidak sepakat atau kontra terhadap golput yang diutarakan Pak Dur, seorang tokoh agama yang aktif di MWC NU. Baginya, golput ibarat orang buta warna. Artinya warna apapun akan di sebut putih dan hanya warna putihlah yang dianutnya.
"Nah, kalau orang sudah
memaksakan dirinya seperti ini, dan di Indonesia sudah penuh dengan orang yang
tidak bisa diberi pengertian, berarti tinggal menunggu kehancurannya karena
negara lain bisa jadi akan memanfaatkan situasi ini dan akan mengobok-obok".
Pandangan Pak Dor ini menggambarkan negara kita akan terbelenggu kemerdekaannya
dan disetir oleh negara lain jika dikuasai oleh orang yang salah.
Demikian juga
halnya Pak Sukari, seorang Perangkat Desa Pakuniran Kecamatan Pakuniran yang
menambahkan suara dalam pemilu adalah kewajiban sebagaimana slogan “Hubbul
wathon minal iman”. Sehingga orang tidak melakukan haknya (memilih)
dan melakukan golput, maka ia adalah bagian orang yang tidak beriman dan tidak
mencintai negaranya sendiri.
Kedua, pandangan sepakat terhadap golput atau tidak
mencoblos. Salah satunya adalah Luthfiyah, seorang wiraswasta dan pernah aktif
di Muslimat NU Paiton ini memaparkan bahwa golput adalah pilihan untuk tidak
ikut serta dalam pemilu karena berbagai alasan yang menyertainya. Baginya,
golput bukan sebuah larangan apalagi mereka yang kecewa terhadap sistem
Pemerintahan dan figur pemimpin yang tidak amanah.
Kiranya, apa yang dipahami oleh Iva Luthfiyah ini, berdasarkan konsep al-Qur'an dalam surat Al-Kafirun ayat keenam yang berbunyi: Lakum dinukum wa liyadin, yang artinya: "Bagi kalian agama kalian, dan bagiku agamaku". Dalam ayat ini menurut Lutfiyah, Al-Din lebih dipahami bukan hanya keyakinan agama An-Sich, tetapi juga kebebasan berekpresi dari berbagai sikap dan keyakinan seseorang, termasuk juga keyakinan terhadap sebuah pilihan dalam pemilu.
Berbeda dengan Luthfiyah di atas, Bu Fad,
berpendapat "caleg hanya iming-iming kesejarteraan saja, tetapi ketika
sudah dilantik, kebanyakan dari mereka melupakan para pemilihnya"
demikian ungkap Bu Fad, ibu dari 2 anak yang sudah 3 kali berturut-turut tidak
pernah mengikuti pemilu.
Dengan ulasan
diatas saya menyimpulkan pandangan golongan yang kontra terhadap golput mereka
lebih baik menggunakan hak suaranya agar negara ini tidak dikuasai negara lain
dan orang yang tidak menggunakan hak suara mereka tidak beriman dan mencintai
negaranya. Sedangkan yang pro atau sepakat golput mereka beranggapan golput itu
bukan perbuatan yang dosa, seseorang bebas mengekspresikan pendapatnya dan
pendapat yang lain beranggapan golput suatu protes terhadap Pemerintahan.
Propaganda yang dilakukan Gus Dur, malah menguntungkan Alim, seorang Caleg DPRD dari Partai Kebangkitan Nahdlatul Ulama (PKNU) yang adik kandungnya PKB. Alim yang berangkat dari Dapil III Kabupaten Probolinggo mengakui, bahwa seruan golput akan menggiring warga NU untuk memilih opsi lain yaitu memilih PKNU.
Berdasarkan kenyataan inilah, maka dapat disimpulkan bahwa warga NU dalam menyikapi seruan golput Gus Dur ini lebih bersifat oportunis. Artinya, selama seruan itu menguntungkan akan di ikuti, begitu pula dengan sebaliknya, selagi seruan itu tidak menguntungkan, maka hal itu tidak diikuti para masyarakat NU.
Muhammad Sulton : Mahasiswa Jurusan HTN
Kampus IAIN Tulungagung Aktif Nimbrung Di Pusat Kajian Filsafat Dan Teologi
(PKFT) Tulungagung.