Gebyar hajatan
lima tahunan Pilpres (pemilihan presiden) dan Pileg (pemilihan
legislatif) telah usai, layaknya kita
bersantai sembari menunggu hasil rekapitulasi suara dari KPU. Meskipun begitu
pada 17 April data quick count dari lembaga swasta sudah mulai
bermunculan. Hasilnya Jokowi-Ma’ruf mendapatkan 54,89%
sedangkan Prabowo-Sandi mendapatkan 45,11%.
Selain itu dilansir
dari laman Kompas bahwa KPU sudah menyediakan ruang
khusus untuk informasi Pilpres dan Pileg agar masyarakat bisa mendapatkan akses
yang lebih aktual terkait pemilihan umum, ada lagi kalau kita melihat di
berbagai jejaring sosial seperti Facebook dan Twitter
terdapat berbagai akun yang ikut-ikutan menjadi media berita dadakan.
Tapi tidak bisa
kita pungkiri dalam pemilihan kali ini yang paling menyorot perhatian publik
adalah pemilihan presiden. Banyak sekali kejutan dari masing masing calon
terlebih Prabowo beliau menggaet mantan wagub DKI Jakarta yang baru saja
dilantik Sandiaga Solahuddin Uno, sedangkan tanpa disangka sangka Jokowi
menggandeng Kyai karismatik sekaligus ketua MUI Ma’ruf Amin
sebagai rekannya dalam kontestasi pilpres kali ini.
Sementara itu,
yang lebih mengejutkan publik adalah kejadian pasca-pilpres. Prabowo sesumbar
bahwa hasil quick count lembaga survey internalnya mendapatkan
60% suara. Dengan nada berapi-api ia berucap, “saya akan dan sudah
menjadi presiden rakyat Indonesia”. Pernyataan yang tendensius itu
menimbulkan sejumput pertanyaan: apakah ia sedang mengalami delusi atau
lembaga survey yang dimaksud sekadar halusinasi. Saking bahagianya
di rumah pemenangan, para pendukung Prabowo-Sandi menggemakan
takbir yang tak kunjung usai dipandu oleh mantan penyanyi dan pemain film era
80an, Neno Warisman.
Media sosial pun
tak kalah riuh dengan berbagai cuitan selebrasi kemenangan
dari kelompok yang belakangan disebut dengan istilah “kampret”. Padahal
hasil quick count dari berbagai lembaga survey justru
menunjukan data yang sebaliknya. Terlebih hasil real count dari
KPU juga belum dirilis.mengingat masa perhitungan di-deadline hingga
28 Mei 2019.
Ada banyak
spekulasi yang muncul pasca--deklarasi Prabowo-Sandi, salah satunya
adalah usaha mereka dalam membentuk kesadaran masyarakat. Dalam istilah Noam
Chomsky hal demikian disebut sebagai rekayasa opini; rekayasa
kesadaran masyarakat untuk mengakuinya sebagai presiden terpilih.
Pertarungan wacana
di dunia maya itulah yang pada akhirnya membuat masyarakat awam kebingungan.
Ada tumpang tindih informasi dan truth-claim yang bertujuan
untuk saling mendeligitimasi, bahwa, di satu sisi quick count memenangkan Jokowi-Ma’ruf di
sisi lain Prabowo tanpa Sandi mendeklarasikan diri sebagai pemenang.
Bisa dikatakan
bahwa peran media khususnya media sosial sangat besar dalam ajang pemilu kali
ini. salah satu pemikir kontemporer, Noam Chomsky dalam
bukunya Politik Kuasa Media (tahun) membedah bagaimana peran media
dalam proses pembangunan opini publik. Berkaca pada Negara Amerika pada tahun
1919 adalah negara yang pada mulanya anti perang karena menganggap bahwa tidak
ada alasan untuk terlibat perang di Eropa.
Presiden terpilih
Amerika kala itu W.Wilson memiliki kepentingan dalam perang
tersebut. Wilson akhirnya membentuk komisi propaganda resmi pemerintah
bernama Crell Comite dan dalam waktu enam bulan komite
tersebut telah berhasil membentuk kesadaran masyarakat yang haus perang dengan
alasan menyelamatkan dunia.
Keberhasilan
propaganda tersebut tidak lepas dari peran para kaum intelektual,terutama dalam
lingkaran John Dewey. Mereka menyihir masyarakat dengan
tulisan-tulisan yang membuat mereka merasa lebih “intelek”. Mereka
membangun opini bahwa Amerika harus menyelamatkan dunia dari ancaman fanatisme
dan kekejaman Jerman.
Jika melihat
fenomena pemilu melalui perspektif Chomsky, objektivitas yang diperlihatkan
oleh media tak seluruhnya disepakati, terkadang apa yang dipaparkan media
sangat bertolak belakang dengan realitas sosial.
Di sisi lain
pemilu telah usai tetapi media sosial akan terus eksis dan diakses oleh jutaan
penduduk Indonesia menyebabkan semakin bermunculannya statemen yang terus
mendorong opini masyarakat agar bisa menerima informasi itu secara sukarela
tanpa mempertimbangkan dan menganalisa lebih jauh validitasnya.
Dalam upaya mejaga
kondusivitas sebaiknya kita menunggu hasil rekapitulasi dari lembaga yang
berwenang. Sehingga kita tidak terprovokasi oleh informasi yang tidak jelas
kebenarannya. Pun jika terindikasi ada sebuah kecurangan laporkan kepada pihak
berwajib dan proses sesuai undang-undang yang berlaku. Perbedaan merupakan
sebuah keniscayaan dan tak sepatutnya dijadikan alasan untuk saling
menjatuhkan.
M. Hirzudin Al-Basor
Mahasiswa Jurusan
Hukum di kampus IAIN Tulungagung dan Aktivis PMII Rayon Moh Al-Fatih Kom. IAIN
Tulungagung