Penulis: Audifax
Judul: Semiotika Tuhan
Penerbit: Pinus
Book Pubpisher
Tahun Terbit: 2007
Tebal: 148
“JIKA ada sosok yang
dianggap perlu untuk diberi kesempatan beristirahat dalam kedamaian, maka sosok
itu tidak lain adalah Tuhan.”
Tuhan ada dimana-mana sekaligus tidak ada dimana-mana. Itulah
kalimat yang Audifax sampaikan mengenai ketertarikannya menyusun buku;
Semiotika Tuhan. Mengenai pembacaan manusia terhadap Tuhannya.
Kita tahu, kebutuhan manusia tentang Tuhan telah ada sejak zaman _bahulak_ (entah kapan). Manusia sudah sangat lama berusaha menngetahui kekuatan spiritual tertinggi yang dibutuhkan manusia. Tuhan, kata Audifax, adalah topik dan kebutuhan paling penting bagi umat manusia. Maka dari itu, walau buku ini terhitung sudah lama, 2007, tapi masih terasa segar untuk dinikmati bersama, Bahkan, walau di antara kalian mulai merasa tak membutuhkan Tuhan lagi.
Hal lain yang menjadi perhatian, menurut Audifax, bahwa arti
merupakan suatu gagasan yang kompleks, termasuk ‘arti Tuhan’ bagi manusia.
Dalam ‘arti’ selalu ada pluralitas, konstelasi, suksesi, yang rumit sekaligus
ko-eksistensi yang membuat interpretasi arti pada dasarnya sebuah seni.
Konsepsi tersebut tidak serta merta menghilangkan gagasan esensi,
tetapi, lebih kepada pembacaan ulang gagasan tersebut agar memiliki arti
penting baru. Karena tidak semua arti memiliki nilai sama. Sesuatu memiliki
arti sebanyak daya-daya yang mampu menguasai sesuatu tersebut.
Objek adalah suatu daya, dan satu dengan yang lain saling
mengambil alih kekuasaan. Audifax mencontohkan tentang seberapa jauh ‘tanda
salib’ memiliki arti dan daya. Gereja, misalnya, adalah daya yang menguasai
salib. Tetapi di luar daya-daya yang menguasainya, tanda salib itu memiliki
daya juga dalam kenampakannya.
Dengan demikian, Audifax berhasil menjelaskan dengan sederhana,
yaitu suatu daya berkaitan dengan daya lain, dan dalam bentuk ini ada elemen
lain yang menyertai 'daya’ yaitu 'kehendak’. Ketika ada perbedaan interpretasi
atas sebuah obyek itu artinya perbedaan kehendak. Jadi, segala sesuatu di dunia
ini adalah tentang kehendak-untuk-berdaya.
Namun, perlu dicermati dan sepakati. _Term kehendak yang dimaksud
Audifax di sini sedikit berbeda dengan pengertian pada umumnya. Audifax
menegaskan bahwa _term_ kehendak yang ia gunakan tidak hanya merujuk pada
manusia atau makhluk hidup. Dalam penjelasannya, ia mencontohkan;
“saat anda membaca buku ini, anda mungkin tengah berpijak di atas
lantai, tanah, atau dataran. Tempat anda berpijak itu pun memiliki apa yang
saya katakan sebagai ‘kehendak’. Jika anda memukul lantai tempat anda berpijak,
maka akan ada benturan antara kehendak anda dan kehendak lantai. Kemungkinan
yang terjadi adalah anda menang dan berhasil membuat lubang besar di lantai
atau justru anda yang mengerang kesakitan karena tangan anda remuk.”
Semiotika tentang Tuhan, yang dibahas oleh Audifax dalam buku ini,
bukan menyoal Tuhan apalagi menilai-Nya, melainkan melakukan pembacaan ulang
terhadap nilai-nilai yang diletakkan manusia atas entitas Ilahi. Audifax
menegaskan pada dasarnya pembahasan ini lebih dekat pada semacam genealogi
nilai tentang Tuhan.
Sekilas Tentang Semiotika
Semiotika menjadi penting karena fenomena kenampakan Tuhan dalam
berbagai manifestasinya, sejatinya dibaca sebagai tanda, sebuah gejala yang
menemukan artinya dalam daya-daya yang ada.
Kiranya sama-sama kita ketahui. Berbicara mengenai tanda dalam
perspektif semiotika. Maka ada dua tokoh utama yang menjadi peletak dasar
pemikiran semiotika. Dua tokoh itu adalah Ferdinand de Saussure dan Charles
Sanders Pierce. Bagi Sausurre, semiotika adalah bagian dari disiplin psikologi
sosial. Sedangkan bagi Pierce semiotika lebih ke cabang dari filsafat.
Sebagai bekal Audifax memaparkan mengenai semiotika strukturalis,
guna memudahkan membaca realitas yang tengah dibahas dalam bukunya ini, yaitu
'Tuhan'. Saussure membagi tanda sebagai entitas dua sisi (dyad). Sisi pertama
disebut dengan signifier (penanda), yaitu aspek material dari
sebuah tanda. Sisi kedua disebut petanda (signified), yang menjelaskan mengenai
konsep mental.
Lalu, dalam semiotika poststrukturalis dari Levi-Struss hingga
Zlavoj Zizek. Harus kita amini bersama sangat dipengaruhi oleh filsafat
Nietzche. Salah satu tokoh, yang dicuplik oleh Audifax dalam bukunya ini, yaitu
tokoh poststrukturalis Jecques Lacan. Dalam penawarannya, Lacan memberikan
diagram versi baru dalam semiotika, yang ia sebut sebagai diagram tanda.
Dimana, tanda disusun dalam dua wilayah yang berbeda dan tidak pernah bertemu.
Wilayah 'S' besar tempat beroprasinya penandaan kebudayaan. Sedangkan 's' kecil
adalah dunia inner-world yang tak terpahami dan tak dapat
diekspresikan oleh penandaan.
Buku ini sejatinya merupakan kumpulan 8 essai, adapun secara
berurutan kedelapan essai tersebut ialah, Tuhan Semesta dan Tuhan
Sejarah, With or Without You, Yesus, Herry Potter,... And The World [Still]
Need a Hero, Hiperrealitas Tanah Terjanji, Agama dan Kita, The Unnamed, Biarkan
Tuhan Beristirahat dalam Damai, If God Had a Name.
Dalam essai pertama, Audifax, menganjurkan barang siapa pun
tertarik menemukan Tuhan yang hidup di semesta, bukan Tuhan yang hidup di
sejarah-sejarah yang dibuat manusia, untuk membaca buku karya Jemes Redfield
berjudul Celestine Prophecy. Dan seketika saya teringat teman saya
Sarkowim (semoga dia sudah punya). Heuheu
Dalam buku tersebut, ungkap Audifak, kita akan menemuai bahwa
tidak ada yang kebetulan di dunia ini. Saya menyadari, benar, bukan kebetulan
saya bertemu dengan Mas Saipul, Kang Nanda, Kowim, Son Haji, dewa cinta Sir.
Badawi, dan sejumlah nama lain di Pusat Kajian Filsafat dan Teologi
Tulungagung. Persis yang Mang Audifax temui di Milis Psikologi Transformatif.
Saya juga percaya bahwa semua pertemuan yang terjadi selalu membawa pesan, dari
satu dan yang lain, begitu pun sebaliknya.
Acapkali kita dituntun oleh kebetulan yang misterius. Kadang saat
kita memiliki harapan dan merasa malah menjauh dari harapan, tapi pada suatu
ketika ada yang terjadi pada kita (entah bertemu dengan orang lain atau apa)
yang ternyata menjadikan kita semakin dekat dengan apa yang kita harapkan. Di
situlah, kemiateriusan yang ada menjadi petanda bahwa ada entitas lain, yang
begitu adikuasa. Namun, jika kebetulan itu dimakanai sebagai 'kebetulan' biasa,
maka peristiwa itu tidak bisa menyemangati hidup kita.
Di era _cos pleng_ ini, begitu banyak orang menyatakan diri
sebagai ateis. Entah sebagai idiologi atau sekadar pembenaran untuk kemalasan
beribadah, persis seperti teman saya fisikawan muda Stephen Huaris. Wikwik.
Kebanyakan dari mereka, biasanya mahasiswa, sok-sokan dengan
menyetir 'God Is Dead'-nya Nietzche. Dan hanya kalimat itu yang diketahui
(mungkin termasuk saya).
Friedrich Nietzche dalam nihilisme-nya, sama sekali tidak
bermaksud meniadakan Tuhan. Namun, malah mengkritik pengetahuan manusia tentang
Tuhan yang justru merupakan reduksi terselubung terhadap Tuhan yang Maha Esa.
Manusia, dengan kedigdayaannya (saya menyinggung _cogito_) sekalipun, mustahil
mampu membicarakan Tuhan, karena Tuhan yang maha itu, di luar jangkauan otak
manusia. Dengan kata lain manusia akan terus hidup dalam samudera pencarian.
Ketika Nietzche memperlihatkan waktu yang melingkar, maka di
situlah tampak manusia hidup terjebak dalam nihilisme. Hidup yang tak bermakna,
tak dipersoalkan lagi. 'God Is Dead', di titik ini Nietzche
mengatakannya. Tidak ada Tuhan jika manusia berjalan dalam rutinitas, karena di
situ doa sudah tak diperlukan lagi. Manusia terjebak dalam mekanisme yang telah
ditetapkan.
Yesus, Harry Potter, Doraemon, Iron Man, Transformers, Wiro
Sableng,...and The World (still) Need a Hero. Carl Gustav Jung
menjelaskan mengenai Imago Dei, imaji mengenai sosok Tuhan yang
tertanam dalam jiwa setiap manusia, bahkan mereka yang ateis sekalipun.
Mendorong manusia untuk menempatkan entitas tertentu sebagai kekuatan yang berada
di atasnya. Inilah mengapa manusia selalu menempatkan suatu kekuatan yang lebih
besar sebagai idola. Menempatkan sosok yang mampu menginspirasi manusia yang
menempatkannya. Hero-hero bukan semata-mata dipasok dari luar,
melainkan juga berasal dari dalam diri manusia (alam nirsadar). Namun, hero-hero akan
selalu bermunculan di sepanjang dan di berbagai tempat. Entah dalam dunia nyata
maupun penciptaan dalam fiksi. Karena, manusia akan selalu membutuhkan
kehadiran mereka.
Tak jauh berbeda, dalam Hiperealitas Tanah Terjanji. Sebuah peta
tanpa teritori, atau biasanya teritori ada baru dibuat petanya, namun kasus
tanah terjanji ini beda, justru petanya ada teritorinya belum. Hal tersebut,
oleh Jean Baudrillard disebut sebagai simulacra. Simulacra adalah
sebuah situasi yang tak memiliki rujukan pada apa pun. Jadi, kata Audifax,
tanah terjanji sebenarnya tak lebih dari simulacra, suatu
hiperealitas, realitas yang melampaui realitas itu sendiri. Kosong, namun lebih
nyata dari yang nyata.
Hiperealitas tanah terjanji, selalu diletakkan dalam klaim-klaim
kebenaran yang juga sama semuanya. Nietzche, dengan nihilisme sebenarnya
telah membongkar klaim-klaim kebenaran semacam itu. Kehadiran Nietzche, tak
pelak membuat kebenaran metafisis meregang nyawa dalam dilema menyelamatkan
Tuhan dengan menariknya ke wilayah dogma, atau membebaskan Tuhan dengan
memerangkapnya ke wilayah lain yang tak kalah dogmatis, yaitu; Akal (Cogito).
Baik dogmatisme religius maupun rasionalitas metafisis tak lagi bertahan jika
dihadapkan dengan nihilisme.
Sementara itu, melalui pengembangan pemikiran Heidegger. Derrida
membawa dekonstruksi sebagai suatu kemungkinan yang mengajak manusia
'melampaui' agama dan masuk ke dalam 'agama-tanpa-agama'. Maksudnya,
'agama-tanpa-agama' ini mengajak untuk tidak terjebak dalam agama-agama
sejarah. Walau, tidak pula menafikan kehadiran institusi agama yang selama ini
kita temui dalam sejarah. Dimensi teologis dalam dekonstruksi lebih merujuk
pada ketidak mungkinan itu sendiri, yaitu ketidak mungkinan membicarakan
'Tuhan'.
Bagi Audifax, Tuhan bukanlah suatu yang 'bernilai untuk dibela',
Tuhan adalah sesuatu yang 'untuk dicari'. Tuhan adalah sesuatu yang hadir dan
menyatu dalam kehidupan manusia. Akan menjadi sebuah tragedi dalam kehidupan
manusia. Terutama dalam upayanya untuk menandai, menjelaskan, menyederhanakan
hal-hal yang tak ternamai, tak terjelaskan, Maha; justru menjebaknya dalam
kondisi yang mengenaskan, jatuh dalam titik kebinatangan.
Audifax: jika ada sosok yang dianggap perlu untuk diberi
kesempatan beristirahat dalam kedamaian, siapakah dia?
Apakah anggota dewan yang setiap hari rapat?, Apakah dosen yang
acapkali merasa begitu digdaya, karena ia yang menginput nilai?, Apakah
mahasiswa pergerakan yang tiap hari bergerak, bersenggama dengan kepentingan.
Hingga buta akan perlunya rekonsiliasi demi kemajuan?
Jika ada sosok yang perlu diberi kesempatan beristirahat dalam
damai, maka sosok itu tidak lain adalah Tuhan. Ya! Tuhan, yang sejak
zaman baheulak telah diseret ke sana ke mari untuk membenarkan
kebencian, penghujatan, pemfitnahan, dosa, berbagai pengadilan dan hal-hal
nirhumanis dalam kehidupan manusia. Tidak hanya dalam sekala besar, seperti
perang antar agama atau pengeboman, namun juga dalam peristiwa keseharian
seperti politik kampus atau yang lebih sederhana diskusi di PKFT.
Audifax: Bagaiman jika entitas Ilahi yang sering disebut 'Tuhan'
itu ternyata adalah salah seorang di antara kita?
Pertanyaan tersebut mungkin kelihatan ngawot. Kan
sudah jelas bahwa 'Tuhan' itu tak terdefinisikan. Tolong jangan tanyak
pertanyaan itu di kelas, jika dosen anda baperan, repot dahhh.
Tapi benar, Jangan-jangan Tuhan itu adalah seorang berkacamata yang sudah
sedikit berumur tapi belum jua menikah di sana. Jangan-jangan dia adalah
seorang pengepul buku yang gemar bersyair tapi takut jabatan itu. Jangan-jangan
dia adalah yang sekarang nyamar jadi lurah pondok di subulussalam.
Jangan-jangan dia terjebak di PKFT.
Saya juga harus terus terang, sama seperti Agnes Mo dan Audifax,
saya juga bertanya-tanya di mana surga berada?. Di atas?, seperti yang di
gambarkan film atau sinetron, Atau di barat?.
Ada banyak peristiwa yang seoalah menghadirkan oposisi biner. Yang
pasti, ada sesuatu yang menjadi arche yang mendahului semua
ontologi. Manusia adalah juga teks dan religi, makhluk yang bisa dibaca
selayaknya teks sekaligus mahkluk yang selalu dalam pencariaannya. Karena
ketidakpastian itulah manusia mendapatkan makna hidup, kemungkinan-kemungkinan
mengubah semua jadi indah. Termasuk kemungkinan mendapatmu, kekasih.