Pancasila adalah suatu kata yang tak asing di telinga masyarakat Indonesia, sebuah kata yang dianggap hanya sebuah simbol semata. Padahal satu kata tersebut menyimpan banyak makna, sebuah kata yang banyak mengandung filosofi dari bangsa ini.
Menurut M. Dawam Rahardjo, banyak kalangan yang menganggap bahwa pancasila itu sebagai sesuatu yang sakti, bahkan ibarat mantra adalah mantra yang mandraguna. Karena apa? Pancasila? Ya, sebuah kata sakti yang pada masanya mampu mempersatukan perbedaan-perbedaan di negeri ini. Sebuah kata sakti yang dijadikan ideologi kita, landasan negara kita, sebuah kata yang mampu menjadikan Indonesia diakui oleh dunia Internasional.
Dunia Internasional kagum dengan ideologi kita, hal ini terbukti ketika presiden pertama kita Ir. Soekarno menyampaikan pidatonya di sidang PBB tahun 60-an. Beliau menyampaikan bahwa sebuah negara akan runtuh nilai dan norma ideologinya ketika rakyat maupun pejabat-pejabat negaranya melupakan, bahkan meninggalkan ideologinya dalam kehidupan berbangsa maupun bernegara. Dan semua perkataan beliau mulai terbukti, di era sekarang ini banyak pejabat–pejabat kita yang menyalahgunakan wewenangnya, lupa dengan kewajibannya, hanya mementingkan kepentingan golongan, hanya mementingkan kepentingan dirinya sendiri.
Nilai ketuhanan yang terdapat pada sila pertama ketuhanan yang maha esa, dalam sila ini mengandung arti tentang kebebasan dalam memeluk agama, menghargai perbedaan antar umat agama. Namun saat ini nilai ketuhanan tersebut mulai memudar, beberapa waktu yang lalu terjadi pembakaran masjid di Tolikara. Umat Islam diserang ketika mereka melaksanakan sholat Ied di lapangan koramil 1702-11 Karubaga, Kabupaten Tolikara, Papua. Awalnya jemaat gereja Gidi melakukan protes ketika gema takbir Idul Fitri berkumandang, mereka protes agar peribadatan umat islam tidak menggunakan pengeras suara. Namun aksi tersebut dihalau oleh polisi yang merespon aksi mereka dengan tembakan, hal ini memancing kemarahan jemaat Gidi yang akhirnya melakukan aksi pembakaran masjid di Tolikara.
Penyelewengan terhadap pancasila pun sedang terjadi akhir-akhir ini, sila kedua yang berbunyi kemanusiaan yang adil dan beradab, dalam sila ini negara kita mengakui adanya persamaan derajat, persamaan hak dan kewajiban asasi setiap manusia. Tetapi hal ini seakan hanya embel-embel saja, ketika pejabat kita banyak melakukan tindak korupsi, merugikan negara hingga triliyunan rupiah, mereka hanya dihukum dengan hukuman ringan saja.
Sedangkan, nenek Asyani yang dituduh mencuri. Padahal nenek tersebut yang mengaku mengambil kayu dilahannya sendiri dihukum 1 tahun 18 bulan dengan denda 500 juta. Dimana nilai persamaan derajat kita, khususnya persamaan derajat di mata hukum.
Fakta diatas hanya fakta-fakta kecil dari realita sosial tentang hilangnya nilai-nilai dari ideologi kita. Realita sosial yang banyak terjadi disekitar kita, tetapi kita tidak menyadarinya. Sebagai generasi muda, sudah semestinya kita kembali sebagai generasi ideologi. Generasi yang memegang dan mengamalkan nilai-nilai dari pada pancasila. Generasi yang saling bergandengan tangan untuk membangun negara ini menjadi negara yang di cita-citakan sesuai dengan yang tercantum di dalam UUD 1945.
Undang-undang dasar yang menjadi konstitusi negara dengan peraturan-peraturan yang akan kita semua jalankan, dengan norma-norma yang kita abadikan dalam hidup kita demi mewujudkan bangsa yang berkeadailan, cinta akan tanah air, berdaulat, adil dan makmur. Serta atas rahmat Allah yang maha kuasa dan dengan didorongnya keinginan luhur supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, dan ikut serta mewujudkan yang layak untuk bangsa dan Negara Indonesia.
Oleh: Lutvi Muamanah